Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

3 Peristiwa Buruk Sebelum Hari Toleransi

Diperbarui: 16 November 2019   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Seminggu sebelum peringatan Hari Toleransi, Indonesia justru dihampiri tiga peristiwa radikal sekaligus. Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa dua hari lagi kita akan menyongsong peringatan Hari Toleransi. Alih-alih kedamaian dalam perbedaan, negeri kita justru diramaikan dengan tiga peristiwa buruk sekaligus. Ketiga peristiwa ini membuat Young Lady cantik patah hati.

Pertama, pelarangan salam lintas agama dari MUI Jatim. Imbauan ini sungguh menciderai kesatuan. Hello, ini hanyalah salam. Salam itu identik dengan kebaikan. Dilansir dari Tirto, JIAD (Jaringan Islam Anti Diskriminasi) menganggap bahwa imbauan yang dikeluarkan MUI Jatim tidak mendewasakan. Bukan seperti ini model keberislaman Indonesia. Sedangkan presiden kita tercinta saja selalu mengucap salam lintas agama di berbagai kesempatan. Tidak, tidak hanya Pak Jokowi tersayang. Bahkan lawan politiknya di Pilpres lalu, Sandiaga Uno, juga melakukan hal serupa.

Mari kita tengok sedikit tentang salam lintas agama. Dalam Islam, dikenal pengucapan 'Assalamualaikum'. Kalian tahu apa artinya itu? Semoga keselamatan menyertai. Terdapat doa baik di dalamnya. Shalom, apa itu artinya? Shalom berasal dari Bahasa Ibrani yang berarti sejahtera, sehat, tidak ada yang hilang, dan tidak ada perpecahan. OM Swastiastu berakar dari kata 'OM' yang digunakan untuk menyebut Tuhan.

"Om" artinya Tuhan, "Su" artinya baik, "Asti" artinya berada, dan "Astu" artinya semoga, jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. ... Sedangkan Namo Buddhaya memiliki arti Terpujilah Buddha yang Telah Merealisasi Pencerahan Agung. Sebenarnya Namo Buddhaya bukanlah bermakna salam, ucapan ini dilakukan saat akan membaca dhamma. Namun di kalangan Buddhis Indonesia, Namo Buddhaya digunakan sebagai salam Buddhis.

Nah, sudah tahu kan artinya? Tiap salam memiliki arti yang baik. Salam, apa pun bahasanya, dari agama mana pun, mempunyai arti positif. Tak ada satu pun salam yang menyembunyikan pesan negatif. Entah setan mana yang meniup ubun-ubun para pembuat larangan salam lintas agama. Yang jelas, larangan seperti ini sangat tidak Indonesia.

Beraninya lembaga sebesar MUI Jatim mengeluarkan larangan yang melukai kesatuan. Susah payah kita merajut kesatuan, lalu seenaknya saja dirusak. Apakah MUI Jatim telah disusupi radikalis? Maybe, bisa jadi. Bila mereka saja berani melarang salam lintas agama, kenapa mereka tidak berani melarang berkembangnya ideologi khilafah? Cobalah lembaga sekaliber MUI bikin fatwa yang mengharamkan ideologi khilafah, itu baru brilian.

Apakah hanya dengan mengucapkan salam dari agama lain kita sudah automurtad? Tidak, kan? Sewaktu KKN, Young Lady cantik punya teman satu kelompok yang berbeda keyakinan. Namun dia tak canggung mengucap salam agama Islam di depan murid-murid SD. Bahkan teman Young Lady itu belajar Iqra juga. Apakah dengan begitu dia otomatis menjadi mualaf? Tidak, Dear. Ini hanyalah perkara perekat jiwa dalam pelangi perbedaan.

Kedua, pembubaran upacara Piodalan di Bantul. Peristiwa buruk ini pun tak kalah mirisnya. Kala 40 orang melakukan upacara keagamaan di sebuah rumah, sekelompok orang bodoh berpikiran sempit membubarkannya dengan alasan tak masuk akal. Kata orang-orang arogan itu, seharusnya prosesi ibadah dilakukan di tempat ibadah bukannya di rumah. Alasan tersebut tidak masuk akal dan terkesan dibuat-buat.

Kalau dipikir-pikir, jadi penganut agama minoritas serba salah juga ya. Ibadah di rumah, dibubarkan dengan alasan tidak pada tempatnya. Ibadah di luar, disangka Kristenisasi, Katolikisasi, Hinduisasi, Budhaisasi dan semacamnya. Lalu, harus bagaimana? Anyway, upacara keagamaan sama sekali tidak meresahkan. Toh mereka tidak mengganggu yang mayoritas. Toh minoritas tidak berusaha meracuni pikiran mayoritas dengan akidah versi mereka. Yang seharusnya dibubarkan adalah pengajian-pengajian radikalisme. Yang semestinya dibubarkan adalah aksi-aksi protes bodoh tidak penting dari perkumpulan stupid yang menamakan diri mereka PA 212.

Ketiga, ledakan bom di Polrestabes Medan. Inilah yang paling menyedihkan. Hari Rabu, (13/11), seorang pria berjaket ojek online menerobos masuk ke Polrestabes Medan, menyusup di antara antrean pembuat SKCK, lalu meledakkan dirinya. Kini, gerakan terorisme telah memiliki pola baru. Bukan lagi menyasar tempat ibadah minoritas atau hotel, tetapi menjadikan aparat keamanan sebagai sasaran. Pikiran para teroris telah dijejali doktrin bahwa aparat pemerintah adalah togut. Mereka merasa pemerintah itu setan dan harus dibinasakan. Sempitnya pola pikir mereka, mereka tak paham definisi togut.

Kesalahan besar orang-orang yang terjebak dalam radikalisme adalah memahami ajaran kitab suci secara tekstual. Padahal tiap ayat dalam kitab suci tidak bisa ditafsirkan secara harfiah. Tentu harus dikaji pula penyebab turunnya dan makna implisit di dalamnya. Ditambah lagi, para radikalis ini terlanjur membenci perbedaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline