Minggu lalu, Young Lady cantik ditawari kerjasama dari sebuah perusahaan. Mereka ingin Young Lady mempromosikan produk terbaru mereka. Of course Young Lady menyambutnya dengan senang hati.
As usual, Young Lady tak pernah menanyakan tarif. Selalu ada perasaan segan menanyakan tarif tiap kali mendapat job, apa pun bidangnya. Pesan my mom selalu terngiang untuk tidak mematok tarif saat menerima job.
Nyaris saja kesepakatan tercapai. Kenapa dikatakan nyaris? Beberapa saat kemudian, pihak perusahaan meminta profil Young Lady. Selain itu, mereka juga meminta data berupa angka.
O-ow kali ini Young Lady tidak bisa memenuhi permintaan mereka. Kalian tahu kenapa? Young Lady cantik tidak bisa membaca data berupa angka yang mereka minta. So, terpaksalah Young Lady menjelaskan kondisi sebenarnya. Kalau boleh memilih, Young Lady tak ingin menjelaskan. Tapi mau bagaimana lagi?
And then...kalian tahu apa yang terjadi? Perusahaan yang menawari kerjasama itu menghilang. Mereka tak berkabar lagi pada Young Lady.
Apa yang bisa dilakukan Young Lady selain membiarkan? Mau komplain dan menanyakan follow up jelas tak bisa, karena belum ada bukti hitam di atas putih. Actually, Young Lady tak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan.
Namun dilihat dari pola interaksi, mereka langsung memutus kontak begitu saja setelah tahu kalau mata ini low vision.
Low vision, baby. Dua kata yang menjadi hantu menakutkan buat Young Lady. Maybe tak lama lagi, dua kata itu akan berganti menjadi total, alias blank spot, alias buta.
Terlahir menjadi double minority memang punya banyak sisi tidak enaknya sendiri. Yang paling tidak enak adalah penolakan dalam mengakses berbagai kesempatan. Ditolak di tempat magang, ditolak bersekolah, ditolak masuk universitas, ditolak modeling, ditolak masuk kabaret karena dianggap tidak bisa menari, ditolak keluarga mantan kekasih, ditolak ikut Toefl, ditolak (ups) lebih tepatnya diusir dari rumah retret, dan ditolak menulis. Kalau mau bongkar-bongkar kisah lama dari kecil sampai dewasa, sudah ratusan kali penolakan di berbagai tempat yang dialami Young Lady. Kisah pagi ini hanyalah salah satunya.
Negara kita masih bodoh. Bodoh dalam cara pandang. Budaya jelek orang Indonesia adalah tidak mau repot. Tidak mau repot mengajari, membimbing, mengarahkan, dan mengayomi orang-orang yang sekiranya butuh itu semua. Orang Indonesia hanya suka terima beres. Jarang sekali ada yang mau direpotkan dengan memberi kesempatan pada wajah-wajah baru yang punya potensi. Mereka lebih suka memberi kesempatan pada orang-orang dengan fisik dan mental sempurna tanpa perlu diajari dari awal.
Tak heran bila golongan orang spesial dan minoritas masih sulit mengakses beberapa kesempatan. Sebab golongan orang lain, orang-orang tak mau repot, feodal, dan pembenci perbedaan, mengharamkan mereka untuk meraih kesempatan tersebut. Ini semua salah pola pikir. Kebanyakan orang Indonesia mempunyai pola pikir yang terlalu sempit. Sempitnya pola pikir dipadu dengan stereotip. Bahwa golongan A, B, C, D tak bisa diajari, curang, jahat, bla bla bla. Stereotip dan keengganan untuk direpotkan masih melekat kuat dalam diri sebagian besar orang Indonesia.