Waktu membaca kata pengantar di sebuah buku, hati Young Lady tergelitik. Karena apa hayooo? Eits, bukan karena dikelitikin ya. Hati ini tergelitik dengan dua kata: penyandang disabilitas.
Ya, hanya dua kata. Tapi efeknya menggelitik hati. Berlanjut jadi perasaan terusik. Ok Dear, kita mulai dari definisi dulu ya.
Disabilitas adalah istilah baru pengganti Penyandang Cacat. Penyandang Disabilitas dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual. Dalam UU RI No. 4 tahun 1977 disebutkan tentang "PenyandangCacat".
O-ow, jadi, istilah disabilitas hadir untuk menggantikan istilah cacat. Hmmm, cacat. Lebih kasar lagi ya.
Secara etimologi, kata disabilitas berasal dari Bahasa Inggris, disability. Disabilitas berbeda dengan difabel (different ability) yang berarti kemampuan berbeda. Orang dengan kemampuan berbeda belum tentu dikategorikan disable. Sedangkan disabilitas jelas-jelas mengarah pada arti ketidakmampuan seseorang secara fisik, mental, kognitif, emosional, sensorik, atau kombinasi dari itu semua.
Disabilitas merujuk pada gangguan, keterbatasan beraktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan yang dimaksud bisa bersifat fisik, mental, dan kedua-duanya. Akibat dari gangguan ini membuat penyintasnya memiliki keterbatasan untuk melakukan aktivitas tertentu. Ruang gerak untuk berpartisipasi pun tak seluas orang tanpa gangguan fisik dan mental. Dapat dikatakan disabilitas merupakan fenomena kompleks yang melibatkan tubuh dan pandangan masyarakat.
Ada beberapa klasifikasi disabilitas. Disabilitas A, sebutan lainnya tunanetra (tidak bisa melihat/buta, low vision). Disabilitas B, tunarungu (tidak dapat mendengar). Disabilitas C, tunawicara (tidak dapat berbicara). Disabilitas D, tunadaksa (cacat tubuh). Disabilitas E1, tunalaras (cacat suara, cacat nada). Disabilitas E2, tunalaras (kesulitan bersosialisasi dan mengendalikan emosi). Disabilitas f, tunagrahita (kelainan mental, kelainan pikiran, daya tangkap yang lambat). Dan yang terakhir adalah disabilitas G, tunaganda. Penyintasnya memiliki lebih dari satu jenis kecacatan.
Hmmm banyak juga ya klasifikasinya. Back to focus. Tidakkah penyebutan penyandang disabilitas terkesan memarginalkan?
Young Lady sendiri lebih suka membiasakan penyebutan orang spesial dibandingkan penyandang disabilitas. Kebiasaan ini pun diikuti malaikat tampan bermata sipitku Mr. Calvin Wan. Rasanya terdengar lebih halus, lebih sopan, dan lebih istimewa. Penyebutan penyandang disabilitas cenderung merendahkan dan menciptakan kesan inferior. Hanya karena penyintasnya memiliki gangguan yang membatasi ruang gerak, bukan berarti mereka layak direndahkan.
Orang-orang dengan keterbatasan fisik dan mental adalah orang spesial. Tuhan menciptakan mereka dengan alasan mulia: agar manusia normal lainnya pandai bersyukur. Golongan orang spesial ini dijanjikan Tuhan akan berlimpahnya karunia di dunia dan akhirat. Di mata Tuhan, tak ada produk gagal. So, mereka yang punya keterbatasan fisik dan mental bukanlah produk gagal ciptaanNya.
Di lingkungan pendidikan pun tak ada istilah 'sekolah disabilitas' atau 'pendidikan difabel'. Penyebutannya adalah 'sekolah luar biasa'. Program studi untuk calon guru SLB bernama 'pendidikan khusus' dan 'pendidikan luar biasa', bukan pendidikan difabel apa lagi pendidikan cacat. Nah, kurang spesial apa cobaaa?