Bagian 3
Sivia kesepian. Sudah beberapa hari ia tak bersama Ayahnya. Malam-malamnya menjadi dingin lantaran tak ada lagi pelukan hangat itu, ciuman di kening itu, belaian rambut itu, dan suara lembut yang bercerita itu.
Kehilangan Ayah bagai kehilangan malaikat. Sivia menjalani hari-hari dengan limbung, tak seimbang lagi. Rasa sedih dan takut mengaduk-aduk benaknya.
Bagaimana bila ia takkan bisa bertemu Ayahnya lagi? Bagaimana bila Ayahnya berhenti menyayanginya? Dan sejumlah "bagaimana-bagaimana" lainnya memenuhi kepala Sivia. Otak gadis kecil itu serasa dibentur-benturkan ke dinding, berat dan menyakitkan.
"Ayah...Ayah dimana?" lirihnya.
Ia ditinggal-tinggal Ayahnya lagi. Sivia menggigit bibir masygul. Ditinggal Calvin melebarkan ruang kesepian di hati Sivia.
Kehadiran Jose dan Syifa tak cukup mengobati sakitnya kesepian. Sivia terbiasa bersama Calvin. Saat Calvin tak ada, separuh jiwanya pergi.
Sepasang mata blue saphier itu menghamburkan kristal bening. Sivia hanya ingin bersama Calvin selamanya. Akan tetapi, sepertinya Calvin tidak mengerti. Ia lebih memilih sibuk dengan dunianya sendiri. Calvin tak peduli lagi pada Sivia.
Jemari lentik Sivia menyentuh tuts-tuts hitam-putih. Ragu, ia mulai emainkan piano. Mengadukan pedih lewat lagu.
Bagaimana caranya