-Semesta Calvin-
Bagi Calvin, hidup yang indah itu seperti layang-layang. Ada naik, ada turun. Terus-menerus berada di puncak akan menjenuhkan. Perlu sesekali turun agar menjadi luar biasa pada saat naik lagi nantinya. Terus berada di bawah pun tak baik. Turun terlalu lama dapat melahirkan pesimistis dan rendah diri.
Bertahun-tahun lamanya ia berada di bawah. Kini, takdir menuntunnya naik ke puncak. Bahagiakah Calvin? Tentu saja.
Ia terkejut ketika Tuan Effendi telah menyiapkan semua untuknya. Nama Calvin tertera paling atas dalam daftar ahli waris keluarga besar. Calvin akan meneruskan perusahaan.
"I proud of you. Salam bangga dari Baba untukmu." tulis Revan di Whatsappnya pagi itu. Baba, panggilan ayah dalam Bahasa Turki.
Calvin tersenyum, lalu mengetikkan balasan. Diedarkannya pandang ke sekeliling ruang kerja direktur. Pada waktunya, ruangan ini akan jadi miliknya.
Langit pagi ini biru cerah, secerah hatinya. Tak sabar rasanya ingin cepat lulus. Semangat hidupnya membubung. Belum lama menikmati sensasi kebahagiaan, seorang staf mengabarkan ada tamu untuknya.
Pintu jati itu membuka. Adica berdiri di ambangnya. Calvin buru-buru beranjak. Di luar dugaan, Adica memeluk Calvin. Bagai pelukan adik pada kakaknya.
Lihatlah, relasi pun naik-turun. Tempo hari, Calvin dan Adica bertengkar. Pagi ini, mereka berpelukan. Adica pelan membisikkan.
"Kontrak-kontrak eksklusifku di label rekaman dan televisi diputus."
"Kenapa?"