-Semesta Calvin-
Abi Assegaf tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Bukan, bukan karena lumpuh. Tetapi karena kegelapan.
Kegelapan yang tetiba menyelimuti penglihatannya. Apa yang ia takutkan terjadi. Abi Assegaf kehilangan penglihatan. Sungguh, pedih tak terkira saat penglihatan kita dihilangkan. Tak setitik pun cahaya yang tertangkap mata. Sesuatu akan terasa berharga ketika kita telah kehilangannya. Kemana mata itu, kemana? Kemanakah titik-titik cahaya itu, kemana? Benarkah kornea, retina, dan irisnya sempurna lumpuh?
"Calvin..." lirihnya menyebut nama Calvin.
Bagaimana malaikat tampan itu tidak bersedih melihat kondisi Tuan yang dikasihinya? Ia tak terlalu sedih saat altarnya hancur. Tapi kali ini, hatinya sempurna disergap kesedihan.
"Gelap. Kenapa semuanya gelap, Calvin? Abi tidak bisa melihat apa-apa."
Memilukan, mengapa mata Abi Assegaf harus diambil secepat itu? Mengapa banyak hal direbut darinya? Istri, anak, cinta, dan kini matanya.
Terlintas ucapan mendiang Mamanya. Bila seseorang sedih, peluklah dia. Sebuah pelukan dapat membasuh kesedihan.
Dengan penuh kasih, Calvin memeluk Abi Assegaf. Ia peluk Abi Assegaf seperti memeluk ayahnya sendiri. Hati malaikat menguatkan yang rapuh.
Lihatlah sifat seseorang yang sebenarnya saat ia memperlakukan orang sakit. Calvin, bintang basket itu, mahasiswa terpintar idola para gadis itu, memeluk dan membaktikan hidupnya untuk ayah yang tak berdaya. Figur berbakat dan populer saja mau memeluk dan memperlakukan orang sakit dengan penuh kasih sayang.