Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

[Langit Seputih Mutiara] Risalah Toleransi

Diperbarui: 2 Januari 2019   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Rudolf Florensius tergolong fanatik. Di depan publik, pria Jerman yang telah puluhan tahun tinggal di Indonesia itu menyetujui konsep pluralisme. Namun, bila ia harus memilih calon menantu Katolik atau Muslim, jawabannya tetap sama.

"Pergi kamu, Assegaf! Sampai kapan pun, saya tak akan sudi punya menantu seperti kamu!"

Diusir berkali-kali, sudah biasa. Dilarang keras menemui Arlita, lagu lama. Dibentak-bentak kasar dan dilukai, tak lagi membuatnya sakit. Zaki Assegaf belajar melapangkan hati.

Melapangkan hati perlu proses panjang. Jika hati telah lapang, berliter-liter racun yang ditumpahkan akan terlarut begitu saja. Hantaman rasa sakit berulang kali tak lagi terasa memberatkan.

"Saya cinta Arlita, Anda harus tahu itu." kata Assegaf, tegas dan berwibawa.

Wajah Rudolf memerah menahan amarah. Kedua tangannya terkepal erat. Buku-buku jarinya memutih. Ia tak suka perintahnya dilawan.

"Akan saya beri tahu Hamid Assegaf soal ini!" geramnya, bergegas meraih telepon.

Assegaf tersenyum miris. Tak ada artinya. Ayahnya itu terlalu sibuk bermesraan dengan istri baru di kapal pesiar mewah. Entah anak tunggalnya akan menikah atau selibat, mana peduli?

Dalam satu hentakan, Rudolf membanting telepon. Gagal menghubungi Hamid. Gelembung kemarahan belum pecah.

Dari balik kaca partisi, Arlita perhatikan itu semua. Ia tak tahan lagi. Papinya sudah kelewatan. Gadis secantik Gabriella Sabatini itu berjalan menyamping, lalu membuka pintu ruang tamu.

"Papi, kumohon berhenti..." pintanya, sedih bercampur manja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline