Sejak Abi Assegaf sakit kanker, mereka semakin jarang bertemu dengannya. Tiap pertemuan menjadi sangat berharga. Tak dapat dicegah, sering kali bermunculan tanda tanya. Inikah pertemuan terakhir?
Melewati mesin absensi di lobi kantor, para staf sudah dibuat harap-harap cemas. Perhatian mereka tersita pada Honda Jazz merah yang meluncur masuk ke halaman. Bukankah itu mobil kesayangan pimpinan mereka?
Di pagi dengan langit seputih mutiara, mereka berhamburan ke halaman depan. Menuntaskan rasa ingin tahu bercampur harapan yang meletup dalam dada. Lama mereka menunggu, pintu mobil terbuka. Desahan-desahan kecewa terdengar pelan. Adica dan Arlita turun dari mobil. Namun, mengapa Adica membuka bagasi dan menurunkan kursi roda?
Semenit. Tiga menit. Lima menit, Arlita membukakan pintu mobil bagian belakang. Ah, lihatlah itu. Lihatlah sosok berparas tampan tapi pucat yang baru saja muncul. Tertebuslah rindu mereka pagi ini.
"Arlita, biarkan aku berjalan sendiri. Jangan pakai kursi roda lagi." pinta Abi Assegaf.
Wajah Arlita meragu. Adica berlutut di depan kursi roda, memastikan keinginan ayahnya.
"Abi kuat, Adica Sayang. Biarkan Abi berjalan dengan tongkat."
Tatapan teduh itu, suara lembut menenteramkan itu, memerangkap Adica dan Arlita. Mereka tak kuasa menolak. Sebentuk tongkat disodorkan.
"Pelan-pelan, Abi." kata Adica memperingatkan.
Abi Assegaf berjalan pelan. Selangkah demi selangkah ia hampiri staf-stafnya. Tangan mereka terulur, menyambut pemimpin tercinta dengan senyuman. Tepat pada saat itu, sedan hitam Deddy diikuti Inova silver Sasmita menepi.
"Deddy...Sasmita!"