Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Malaikat di Ruang Putih, Jangan Biarkan Damai Ini Pergi

Diperbarui: 5 Oktober 2018   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Paviliun rumah sakit seperti rumah kedua baginya. Berbulan-bulan ini dia terbaring di sana, menggantungkan hidup dari peralatan medis. Sakit ada untuk menghargai nikmat sehat.

Nikmat sehat? Mengingat itu, Calvin merasa miris. Sudah lama tak ia rasakan nikmat sehat. Tubuhnya dipaksa menerima penyakit itu. Sakit yang menggerogoti ginjalnya.

Sepasang mata sipit bening itu terhujam ke langit-langit putih. Hampa, pilu, dan muram. Calvin lelah, lelah menanti keajaiban untuk sembuh. Namun, ia masih percaya. Allah selalu ada untuk orang-orang sakit, sedih, dan kesepian.

Allah ada dimana-mana. Ia ada di antara pusaran kesedihan dan kebahagiaan hambaNya. Jika kesepian, berdoalah padaNya. Allah akan memeluk hati yang sedih, sakit, dan kesepian.

Pria tampan orientalis itu mengangkat kedua tangan. Pelan mengusapkannya ke wajah. Bertayamum, lalu shalat. Sepertiga malam bukannya ia habiskan dengan tidur, melainkan dengan Tahajud.

Ruang putih itu menjadi saksi Tahajudnya malaikat tampan bermata sipit. Malaikat tampan bermata sipit, panggilan dari orang-orang yang pernah ditolongnya. Tidak, Calvin tidak boleh sengaja mengingat kebaikan. Sengaja mengingat-ingat kebaikan hanya mengurangi keikhlasan.

Kembali difokuskannya pikiran pada komunikasi denganNya. Calvin berdiskusi dengan Allah, melobiNya. Ia memohon penyakit itu diangkat, memohon kesepian ini terhapus.

Ketika tubuh sehat, mungkin kesepian tak begitu mengganggu. Saat sakit, dampak kesepian terasa sangat kuat. Hidup sendiri di kala sakit itu susah. Tak ada yang memperhatikan, merawat, dan memotivasi untuk sembuh. Apa-apa harus dijalani sendirian. Cuci darah sendirian, demam akibat efek samping cuci darah sendirian, berada di titik kritis akibat sepsis/keracunan darah pun sendirian.

Bagaimana pria setampan dan sebaik Calvin bisa kesepian? Itu semua karena keteguhan pilihannya untuk hidup tanpa menikah. Demi Allah penguasa langit dan bumi, banyak wanita yang mendambanya. Namun, Calvin Wan memilih sendiri.

Dan...voilet, beginilah konsekuensinya. Konsekuensi terpahit dari kesendirian dirasakan saat sakit. Akan tetapi, apakah Calvin benar-benar sendiri?

**     

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline