Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Rumahmu Jauh

Diperbarui: 20 September 2018   06:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Langit kelam, pertanda cuaca kurang baik. Awan-awan Cumolonimbus bergulung menakutkan. Lihat saja, sebentar lagi pasti gulungan awan akan memuntahkan hujan. Membuat orang-orang gentar, ingin mempercepat aktivitas di luar ruangan.

Takutkah Silvi? Sama sekali tidak. Ia justru berharap hujan turun. Sejak kecil, Silvi menyukai hujan. Hujan itu romantis. Lebih romantis dari sekedar gerimis.

Berulang kali Silvi menatap langit. Amat berharap hujan segera turun. Benarkah Silvi hanya menunggu hujan?

Tidak juga. Ada satu entitas lainnya yang dinanti selain hujan. Lebih tepatnya, ia menunggu seseorang. Seorang pria yang telah membiaskan janji.

Gelisah, Silvi bangkit dari sofa. Berjalan memutari ruang tamu. Mengintip lewat jendela berkaca riben, menduga-duga apakah dia sudah datang. Menunggu bukan pekerjaan menyenangkan.

Namun, Silvi percaya. Menunggu melatih kesabaran. Bukankah sabar ilmu tingkat tinggi? Dipelajari setiap hari. Dari lahir hingga mati.

Langit kian kelam. Menandakan hujan semakin dekat. Kegelisahan membesar di hati. Jam kuno Westminster berdentang lima kali. Terlambat, pikir Silvi gusar. Tak seperti Calvin yang selalu tepat waktu.

Calvin? Nama itu membangkitkan kesadaran. Salahkah apa yang akan dilakukannya? Apakah dia sungguh-sungguh ingin membalas dendam pada malaikat tampan bermata sipitnya? Malaikat yang telah banyak menolongnya, dulu dan kini. Malaikat yang masih dia butuhkan.

Buru-buru Silvi mengusir pikiran itu dari kepalanya. Permainan telah dimulai. Rencana harus terus berjalan. Keputusan tak bisa ditarik.

Gelegar petir memecah langit. Kaca-kaca jendela beresonansi. Angin berteriak, mengirimkan tusukan hawa dingin. Lampu kristal berayun lembut. Silvi tetap berdiri di tempatnya. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Dalam hati bertanya-tanya, kemanakah Adica?

Bermenit-menit setelahnya, pertanyaannya terjawab. Terdengar alunan biola dari halaman depan. Disusul denting gerimis. Ah, rupanya Adica datang bersama hujan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline