Dari jendela kantornya, senja terlihat begitu indah. Gradasi merah keemasan menyapa langit. Bola merah bercahaya di kaki langit sebelah barat itu akan segera hilang. Membiaskan bayangan panjang merah bersaput emas yang bergetar.
Calvin menikmati datangnya senja dengan hati ringan. Walau tangannya tak lepas dari telepon pintar berlogo apel tergigit, ia masih bisa menatapi keindahan karya tangan Tuhan dari sini. Melihat langit indah menjelang petang menjadi cara efektif me-refresh pikiran.
"Malaikat tampan bermata sipit, aku takkan bosan mengingatkanmu untuk menjaga ginjalmu."
Potongan chat terakhir Calisa menggetarkan hatinya. Sebuah pengingat, pengingat yang datang dari hati seorang wanita. Lama, lama sekali Calvin tak mendapatkannya.
Sejak pagi, Calvin dan Calisa memulai percakapan virtual. Berawal dari undangan fashion show yang dikirimkan Calisa via e-mail. Berlanjut dengan getaran-getaran smartphone menyambuti dialog emosional yang terhubung sarana digital. Di sela pekerjaannya, Calvin intens chatting dengan wanita keduanya. Tak sabar ia menanti malam. Saat dirinya dan Calisa bisa bertemu.
Sudah cukup untuk hari ini. Selamat tinggal tumpukan laporan keuangan, selamat datang kebebasan. Dimatikannya komputer. Dilangkahkannya kaki meninggalkan ruang kerja direktur.
Di depan lift, Calvin berpapasan dengan sekretarisnya. Sekretaris cantik berpipi chubby itu baru akan pulang ketika bosnya meninggalkan kantor. Sejenak mereka berbincang hangat sambil menunggu.
Deringan ponsel menyela. Bukan dari Calisa, tetapi dari keponakannya.
"Papa-Vin..." Suara Carol terdengar serak di ujung sana.
"Kenapa, Sayang?" tanya Calvin, lembut bercampur khawatir.
"Carol, Thalita, dan Stevent kangen Papa-Vin. Kapan kita ketemu lagi?"