Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Berdialog dengan Tokoh Fiksi, Indahnya Vonis Infertilitas (Bagian 1)

Diperbarui: 19 Juli 2018   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Aku masih di sini..."

Eits, potongan kalimat itu bukan sekadar lirik lagu. Tapi representatif juga kok buat Young Lady cantik dan eksistensi "Calvin Wan". Something historical for me. Bulan Juli adalah tepat setahunnya kehadiran "Calvin Wan" di Kompasiana. Wow tidak terasa ya.

So, Juli adalah satu dari beberapa bulan spesial buat Young Lady. Sebab "Calvin Wan" ini tidak benar-benar fiktif. Melainkan terinspirasi di balik sosok dalam kehidupan nyata. Makanya lebih mudah berdialog dengannya secara lifetime. Sosok inspirasinya benar-benar ada, dan bisa Young Lady ajak bicara tentang ilmu kehidupan.

Meski demikian, Young Lady juga tak keberatan membuka ruang imajinasi seluas-luasnya untuk berdialog imajiner dengan "Calvin Wan". Terkadang apa yang tersampaikan bisa lebih bebas dan leluasa dalam dialog imajiner. Menciptakan suasana nyaman di hati, mengawali proses kreatif, lalu memunculkan sosok Young Lady dan tokoh fiksi nan inspiratif. Jika semuanya telah siap, barulah dialog imajiner dengan tokoh fiksi bisa dimulai.

"Apa yang kaupikirkan tentang infertilitas?" tanya Young Lady serius. Menatap kedua mata sipit Calvin lurus-lurus.

"Ujian dan anugerah." jawab Calvin tenang.

Spontan mata biru pucat Young Lady melebar tak percaya. Bisa-bisanya vonis infertilitas dianggap ujian sekaligus anugerah.

"Are you sure?" Young Lady setengah tak percaya.

"Yups. Ujian yang bisa disikapi dengan anugerah." Calvin tersenyum menawan saat mengatakannya.

"Tidakkah hatimu hancur saat vonis itu jatuh padamu?"

"Tentu saja. Aku sedih sekali saat pertama kali mengetahuinya. Kurasakan rumahku begitu sepi tanpa kehangatan dan keceriaan seorang anak. Di depan eluarga istriku, aku selalu disalahkan. Mereka menatapku jijik, seolah aku aib paling memalukan dalam keluarga. Kusesali diriku sendiri yang harus sakit dan akhirnya merasakan apa yang paling ditakutkan seorang pria. Seiring berjalannya waktu, kusadari sesuatu. Aku harus bangkit. Caraku bangkit adalah memandang vonis ini dari kacamata berbeda."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline