Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

[Melodi Silvi 2] Saya Muslim Kulit Putih, Maukah Memeluk Saya?

Diperbarui: 17 Juli 2018   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Begini rasanya bertahan di antara rasa sakit. Seperti diserang ribuan jarum jahat bukan lagi hal baru. Terjadi setiap hari, membuat tubuh yang menahan ganasnya sel-sel kejam pembawa penyakit itu menjadi terbiasa. Berusaha melenturkan raga agar terbiasa dengan sakit ini. Berteman dengan rasa sakit, mungkin satu lagi cara untuk terus bertahan.

Seperti itulah yang dirasakan Calvin. Sejak kedatangan Dinda dan Reno, sakitnya bertambah berkali-kali lipat. Bukan hanya sakit di tubuhnya, tetapi juga di hatinya. Demi Allah yang Maha Cinta, Calvin ikhlas Reno menampar dan menyakitinya. Tetapi ia takkan tinggal diam bila Dinda yang jadi korban.

Sejak pagi, Calvin menahan rasa sakitnya. Ia alihkan pikiran dengan menulis artikel di melodisilvi.com. Ia isi lagi website yang mengingatkannya pada putri angkatnya. Silvi, peri kecilnya, yang kini ada di pelukan orang lain.

Calvin menulis dan terus menulis. Blogger super tampan itu menuangkan kisah tentang dampak buruk fanatisme beragama. Fanatisme beragama bisa melukai orang lain. Di bawah tekanan rasa sakit, malaikat tampan bermata sipit terus menuliskan kebenaran.

Atmosfer kecemasan melingkupi rumah besar itu. Kesepuluh pekerja diam-diam memperhatikan tuan muda mereka dengan ketakutan. Mereka sangat mengkhawatirkan kondisi Calvin.

Biar pun lugu, jangan kira kesepuluh pegawai yang bekerja di rumah Calvin itu bodoh. Mereka tidak tutup mata. Kedatangan lelaki hitam pagi tadi telah membuat tuan muda mereka terguncang. Setidaknya, itulah yang mereka pahami.

Tak kuat lagi menulis, Calvin menutup laptopnya. Beranjak meninggalkan ruang kerja. Melangkah sedikit limbung ke kamar birunya di lantai paling atas. Kerja bagus untuk melodisilvi.com hingga sore ini.

Pintu kayu berpernis mengilap terayun membuka. Embusan dingin air conditioner menyerbu lengan, kaki, dan tangannya. Wangi citrus begitu menyegarkan. Detakan jarum jam terdengar di sela desis lembut AC.

Kamar berkarpet biru pucat dengan dinding dan langit-langit biru pula ini masih sama. Sebuah kamar tidur mewah yang menawarkan kenyamanan untuk pemiliknya. Nyaris tak ada yang berubah dari kamar Calvin di masa kecilnya itu. Rak-rak buku, grand piano, ranjang biru berukuran king size, meja belajar penuh textbook, pigura-pigura foto, balkon kamar, dan kamar mandi pribadi, semuanya masih sama. Tak ada letak barang yang diubah.

Enggan mengganti setelan jasnya, Calvin merebahkan tubuh di ranjang. Terus mendaraskan doa dalam hati, berharap rasa sakitnya pergi. Calvin berbaring tak bergerak, tak bergerak, tak bergerak. Ia tetap tampan dalam kesakitan.

Langit melukiskan gradasi orange dan jingga di luar sana. Fragmen senja yang indah kontras dengan kesuraman hati pemilik rumah mewah di lereng bukit. Hati seorang pria yang tersakiti, dan baru saja melihat wanita yang dicintainya dilukai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline