Pagi pertama di rumah utama. Rumah kenangannya, rumah masa kecilnya. Rumah yang menjadi saksi cinta kasih Tuan Effendi untuk Calvin.
Akhirnya, Calvin kembali lagi ke sini. Bahagia? Tentu saja. Siapa yang tak bahagia bila diberi kesempatan pulang kembali ke rumah masa kecilnya. Sedih? Sudah jelas. Sedih karena ia kembali ke rumah ini dalam keadaan berbeda. Kesepian? Itu keniscayaan. Di rumah ini, tak ada lagi Tuan Effendi yang menyambutnya dengan senyum hangat dan sikap fatherly. Tak ada lagi Adica yang akan memeluknya dan menepuk pelan punggungnya selayaknya saudara kandung saja.
Enam asisten rumah tangga, tiga supir pribadi, dan satu tukang kebun yang bekerja di rumah itu tak kalah antusias. Setahun ini mereka hanya tinggal dan membersihkan rumah yang begitu besar. Seolah kegiatan mereka tak berguna. Bagaimana mau berguna, bukankah rumah sebesar mausoleum ini tak berpenghuni?
"Pagi Tuan," sapa seorang asisten rumah tangga berwajah ramah.
Calvin tersenyum, membalas sapaannya. Sejak pukul lima ia sudah turun dari kamarnya. Melihat-lihat lagi rumah masa kecilnya untuk kali kedua.
"Tuan mau sarapan? Saya buatkan ya. Obat-obatannya juga sudah disiapkan."
"Tidak usah, nanti saja. Ada yang harus saya lakukan."
Setelah menolak halus tawaran asistennya, Calvin bergegas ke halaman depan. Ia berpapasan dengan tukang kebun yang tengah sibuk memotong rumput.
"Pagi ini, boleh saya yang gantikan? Sekalian saya mau merawat bunga lagi," pinta Calvin sopan.
Lelaki tua bertopi lebar itu tergeragap. Sudah lama tak mendengar sikap santun dan keramahan tuan mudanya. Beruntungnya bekerja di rumah Calvin. Diperlakukan sangat baik, digaji dengan cukup memuaskan. Belum lagi bonus-bonusnya. Calvin tergolong royal dengan semua pekerjanya.
"Maaf, apa tidak sebaiknya Tuan istirahat saja? Kan semalam baru sampai. Tuan juga sedang sakit..." kata si tukang kebun penuh perhatian.