Dear para editor dan chief editor penerbit mayor di Indonesia, para owner rumah produksi, Kantor UNESCO Perwakilan Jakarta, dan para pemerhati literasi,
Saya Latifah Maurinta Wigati.
Gadis bermata biru yang lahir tanggal 9 September 1997. Senang menulis yang dekat dengan kehidupannya, suka menonjolkan tentang Muslim Non-Pribumi, dunia modeling, dan vonis infertilitas dalam tulisan-tulisannya. Di dunia tulis-menulis, saya mulai menulis sejak berumur 10 tahun.
Tahun 2016 sampai sekarang menulis di Kompasiana.com dan kini akunKompasiana saya sudah terverifikasi biru. Artinya menjadi akun yangtulisan2nya terpercaya.Saya mencoba one day one article di Kompasiana.com.
Salah satu rubrikyang saya isi adalah Fiksiana. Di sana saya mengembangkan ciri khas/style berupa fiksi musikal dengan penambahan lirik-lirik lagu yang representatif dengan isi cerita, dan personal branding dengankonsisten pada satu tokoh utama pria. Tulisan, musik, dan cerita adalah bagian tak terpisahkan dari hidup saya. Bernyanyi, menulis, dan bercerita adalah bentuk pelarian yang paling melegakan dan bebas. Layaknya sebuah jalan pembebasan.
Saya bukanlah sastrawan sehebat Chairil Anwar, Taufik Ismail, atau Pramoedya Anantatoer. Saya juga bukan novelis sehebat Habiburrahman El Shirazy, Ayu Utami, Dewi Lestari, Taufiqurrohman Al Azizi, Tere-Liye, atau Andrea Hiratta. Namun, seperti para penulis hebat itu, salahkah bila saya membawa ideologi baru dalam tulisan-tulisan cantik saya?
Ideologi yang berada di tengah-tengah, antara fiksi dewasa dan fiksi religius. Mungkin saya sedikit memperhalus di sini. Yang saya maksud fiksi dewasa adalah, fiksi untuk kategori dewasa yang menonjolkan unsur seks di dalamnya. Sedangkan dalam pemahaman saya, fiksi religius adalah fiksi yang mengedepankan nilai-nilai agama di dalamnya. Kedua jenis fiksi ini memiliki karakternya masing-masing, tetapi saya memutuskan menulis sesuatu yang baru, mengembangkan sayap-sayap tulisan saya, dan terbang bebas dengan style baru. Lebih jelas mengenai kedua jenis fiksi di atas dan ideologi yang saya bawa, silakan baca artikel ini.
Actually, bukan hanya seks dan kedudukan pria-wanita yang saya angkat. Saya juga menuliskan pemahaman yang tumbuh dan berakar dalam diri saya. Tentang Islam. Islam milik siapa saja, Muslim Indonesia tak hanya terdiri dari Pribumi atau native saja. Non-Pribumi yang memeluk Islam pun berhak menjadi bagian dari Muslim Indonesia.
Tidak perlu didiskriminasi, atau ditatap aneh untuk memasuki rumah Allah untuk beribadah. Agama Islam milik siapa saja. Tuhan tidak mengenal etnis. Yang membedakan di hadapanNya hanyalah iman dan ketakwaan. Pribumi maupun Non-Pribumi, pantas menjadi Muslim dan bagian dari Muslim Indonesia. Yang berkulit putih, yang bermata biru, bermata hijau, bermata sipit, berkulit hitam, berkulit coklat, semuanya berhak memeluk agama Islam dan tinggal dengan damai di Indonesia yang notabenenya negara mayoritas pemeluk Islam terbesar di dunia. Itulah yang ingin saya tekankan di dalam penceritaan saya, selain permasalahan seks dan hierarki pria-wanita.
Ada ketakutan di hati kecil saya. Ketakutan bahwa ideologi jalan tengah ini, style yang saya bawa, tidak diterima dan dipahami dengan mudah. Sesuatu yang anti mainstream biasanya lebih sulit dipahami dan diterima akal pikiran. Sama saja seperti keberadaan sastra elite dan sastra populer. Di satu sisi, sastra elite tidak bisa begitu saja dipahami semua orang. Di sisi lain, hadirlah sastra populer yang mudah diterima dan dikonsumsi berbagai kalangan.
Ketakutan itu muncul bersamaan dengan kegelisahan. Apakah pemikiran-pemikiran saya yang tertuang dalam cerita yang saya tulis bisa dipahami? Bisakah diterima? Dan mengapa, selera pasar hanya tunduk pada dua jenis fiksi populer tersebut: fiksi dewasa dan fiksi religius? Tidak bisakah jenis fiksi baru yang mengambil jalan pertengahan ikut lebur dalam selera pasar? Saya tahu, penulis butuh penerbit.