Kalau ditanya tujuan menulis, pasti jawabannya beragam. Ada yang menulis untuk mencari popularitas, mendapatkan penghasilan, berbagi informasi, atau sekadar mencari kepuasan pribadi. Young Lady sendiri punya beberapa tujuan menulis. Salah satunya adalah, bermain-main dengan kesedihan.
Eits, jangan dianggap bercanda. Ini serius. Pernahkah Kompasianer perhatikan? Tiap kali menulis fiksi di Kompasiana, isinya selalu sedih. Sebagian besar, atau bahkan semua ceritanya, menyiratkan kesedihan mendalam?
Itu semua ada tujuannya. Tak lain bermain-main dengan kesedihan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang mainstream untuk dituliskan. Sekaranglah saatnya mencari sesuatu yang tidak biasa untuk ditulis secara rutin: kesedihan.
Honestly, menulis fiksi dianggap Young Lady sebagai cara untuk bermain-main dengan kesedihan. Bermain-main dengan kesedihan, mempermainkan rasa sedih, menyublimnya menjadi cerita, menerbitkan kepuasan tersendiri. Seakan perasaan dan luka-luka di masa lalu sedikit terlampiaskan.
Seperti lirik lagunya Bunga Citra Lestari. Kuingin marah, pelampiasan, tapi ku hanyalah sendiri di sini. Young Lady cantik juga begitu. Ingin melampiaskan rasa kecewa, sedih, dan pedih akibat luka-luka di masa lalu. Tapi tak tahu harus bagaimana karena sendirian. Lalu, terbitlah solusi pelampiasan: menulis fiksi. Tulislah kesedihan di dalam cerita. Buat saja kepedihan, luka, kekelaman, kehilangan, dan kepedihan hati dalam cerita. Ungkapkan sedalam-dalamnya, agar rasa itu terlampiaskan.
Finally, Young Lady menjadi penulis cantik yang kejam. Kejam dalam bercerita dan mengubah nasib tokoh-tokoh cerita. Dua tahun lalu, mantan pertama mengatai Young Lady jahat. Jahat sebagai penulis, karena selalu membuat tokoh utama pria menderita. Justru hal seperti itu memberikan kepuasan tersendiri. Sudah saatnya wanita bangkit dan keluar dari zona patriarki, dimana wanita selalu lemah dan pria selalu lebih kuat serta berada di posisi teratas.
Kompasianers yang observant dan telah lama kenal pola cerita Young Lady cantik pasti sadar. Tokoh yang menderita selalu saja tokoh pria. Tokoh wanita, jarang sekali merasakan derita yang sama dengan pria. Itu suatu kesengajaan. Kesengajaan agar membuat dominasi tokoh wanita terlihat kuat dan bahagia.
Infertilitas, isu itulah yang sering diangkat Young Lady dalam cerita. Jujur saja Young Lady memendam kekecewaan dan kesedihan di dalam hati. Bila sudah ada kaitannya dengan infertilitas, selalu saja wanita yang jadi korban. Selalu saja wanita yang salah. Big no, padahal tidak semuanya begitu. Pria juga bisa salah. Bisa menderita, bisa divonis infertilitas karena penyakit dan penyebab lainnya. Hanya saja, selama ini posisi pria cenderung aman dan tidak mudah disalahkan.
Sebaliknya, posisi wanita lemah. Ia rentan disalahkan. Nah, Young Lady ingin mematahkan stereotip itu lewat karya fiksi. Ingin membuka mata hati pembaca bahwa tak selamanya wanita yang salah. Pria juga bisa salah. Jangan hanya menyalahkan dan melayangkan tuduhan pada satu pihak saja. So, dalam kisah-kisah cantik buatan Young Lady, tokoh prialah yang infertil, bukan wanita. Lagi-lagi ini persoalan patriarki.
Isu lainnya yang sering tersorot adalah Muslim Non-Pribumi. Berawal dari kegemasan luar biasa mengenai anggapan terhadap Muslim. Kebanyakan Muslim diidentikkan sebagai Pribumi, kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, kulit sawo matang, mata hitam, dan agamanya orang-orang miskin. Namun, nyatanya tidak semuanya begitu.
Ada pula Non-Pribumi yang beragama Islam. Bahkan sangat teguh memegang Islam. Yang bule, yang berkulit putih, yang bermata biru, yang bermata hijau, yang bermata sipit, yang kaya, yang pintar, yang cantik/tampan, yang bertalenta, yang sukses, yang pintar pun banyak yang Muslim. So, jangan lihat Muslim dari satu sisi. Jangan langsung menjustifikasi Islam sebagai agamanya Pribumi, agama orang miskin, bodoh, dan orang biasa. Tidak, tidak semuanya begitu. Itu poin lainnya yang ingin ditekankan Young Lady dalam karya fiksi di Kompasiana.