Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati, Gaun dan Jas Hitam Bersatu

Diperbarui: 22 Februari 2018   05:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana rasanya terperangkap sepi di tengah keramaian? Silvi tengah merasakannya. Gadis cantik blasteran Sunda-Inggris itu menggigit bagian dalam pipinya. Mata biru kobaltnya bergerak meneliti sekeliling ruangan kelas yang cukup besar itu.

Individualis, dingin, dan apatis seperti biasa. Bermacam suara terdengar. Hanya kamuflase semata. Pemecah sunyi, pencair kebekuan.

Di kanan-kirinya, terlihat beberapa orang gadis mengobrol serius. Apa yang mereka bicarakan, sedikit-banyak terdengar oleh Silvi. Mereka membicarakan tentang topik skripsi dan pengajuan makalah untuk seminar internasional. Keresahan mereka karena hingga semester 6 belum melakukan apa-apa, belum menghasilkan sesuatu yang luar biasa.

Diam-diam Silvi mendengarkan seraya bertopang dagu. Gadis-gadis di sekelilingnya ini tak begitu cantik dan populer, tapi mereka rajin. Kecerdasannya pun standar saja. Silvi dapat memahami mereka. Merekalah yang tidak memahaminya.

Anggaplah Silvi satu langkah lebih maju. Menulis dan berliterasi bukan hal baru. Tingkat intelegensi bisa dikatakan di atas rata-rata. Intinya, gadis cantik berambut panjang dan bergaun hitam ini sudah bisa mengukur kemampuan dirinya dan teman-temannya.

Mengapa di kelas ini si cantik Silvi merasakan kesepian? Entahlah, mungkin karena tak ada yang cocok dengannya. Mungkin tak ada yang memahaminya. Hati Silvi dicengkeram sepi. Jiwanya disergap resah. Benar kata orang. Anak pintar biasanya kesepian. Wanita cantik pun lebih mudah merasa kesepian.

Meninggalkan gadis-gadis berhijab syar'i itu, Silvi mengalihkan fokus pada sekelompok pemuda yang tengah sibuk bermain game. Entah apa permainan mereka. Yang jelas mereka tertawa-tawa ceria dan begitu senang memainkannya. Mereka begitu ceria, tanpa beban, seolah akan hidup selamanya. Beruntung sekali jadi mereka.

Di dekat pintu, terlihat sekumpulan anak lelaki dan perempuan saling bertukar buku. Nampaknya seperti buku catatan. Raut wajah mereka cemas. Bibir Silvi melengkung membentuk senyuman tipis. Tak salah lagi, mereka sedang mencontek tugas kuliah. Silvi yang pintar tidak perlu melakukan hal itu.

Pemandangan di bangku belakang lain lagi. Seorang pemuda berwajah suram dan berpakaian kusut menghampiri tetangga duduknya. Berbekal wajah memohon, si pemuda meminta kerelaan teman duduknya untuk memberikan koneksi internetnya. Ia kehabisan dan tak punya uang untuk membeli tambahan kuota internetnya. Dalam hati Silvi merasa kasihan. Niat hati ingin membantu si pemuda berwajah suram, tapi sudah didahului yang lain. Silvi lega dan bersyukur. Setidaknya sudah ada yang memberi.

Jika dipikir-pikir, lebih baik dosen killer itu saja yang masuk. Menghadapi dosen kejam jauh lebih baik dibanding tenggelam dalam kesepian.

Perlahan Silvi membenamkan kepala ke lengannya. Memain-mainkan rambutnya yang terkucir rapi. Menarik-narik kucir rambutnya dengan gamang. Hancur sudah ikatan rambut itu. Sekejap kemudian, kuciran rambut Silvi terlepas. Rambutnya kembali terurai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline