"Kamu harus mengalah!" teriak seorang pemuda berkulit gelap dengan pakaian seragam tim lawan.
Bola basket di tangan Calvin ia dribel dengan kekuatan penuh. Ditatapnya si pemuda penuh tanya. Bberhadapan begini, keduanya sangat kontras. Calvin berkulit putih, bermata sipit, posturnya tinggi semampai dan wajahnya tampan. Pemuda satunya, yang baru saja menghardiknya, berkulit gelap dan bermata lebar. Jelas tidak setampan Calvin.
"Ok, aku akan mengalah. Tapi, apa alasannya sehingga aku harus mengalah?" tanya Calvin. Tenang suaranya, kharismatik sikapnya.
"Karena kamu berbeda! Orang-orang seperti kamu harusnya pergi saja dari sini! Tak usah main basket di sini!"
Sekejap saja, Calvin tahu alasannya. Pasti karena ras lagi, etnis lagi. Benar-benar out of date.
"Hanya karena itu?"
"Iya!"
Kembali ia mendribel bolanya dengan tenang. Sangat cool.
"Kalau begitu, aku tidak akan mengalah. Tidak adil namanya. Ini permainan basket. Bukan ras yang dipersoalkan, tapi kemampuan."
Bukannya terkesan, si pemuda berkulit gelap justru naik darah. Ia berteriak, menyuruh teman-temannya mendekat. Dengan satu komando, mereka menyerang Calvin. Melayangkan pukulan, tamparan, dan tendangan. Makian bernada rasis mereka lontarkan. Ya Allah, begitu beratkah memiliki darah campuran di dalam tubuh sendiri?
**