Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Perasaan Apa Pun, Cobalah Mengontrolnya

Diperbarui: 5 Oktober 2017   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat menemani Mama saya berbelanja, saya sengaja memisahkan diri darinya. Saya berjalan-jalan sendirian mengitari bagian lain dari areal pusat perbelanjaan. Begitulah kebiasaan saya tiap kali bepergian dengan satu atau beberapa anggota keluarga saya ke mall atau tempat belanja tertentu. Memisahkan diri dan berjalan-jalan sendiri, itulah yang saya sukai. Biasanya mereka baru sadar jika saya sudah tak berada di dekat mereka lagi. Lalu salah satu dari mereka akan bergegas menyusul saya dengan sikap over protektifnya. Padahal saya tidak apa-apa.

Sore itu, saya pun kembali melakukan hal yang sama. Menjauh dari Mama saya yang sibuk memilih-milih barang, lalu berjalan-jalan sendirian. Saya nikmati langkah demi langkah menyusuri deretan rak yang memajang berbagai display barang. Alunan lagu yang disusun oleh profesional playlist market saya dengarkan. Sesekali saya ikut menyenandungkan liriknya. Pokoknya saya benar-benar menikmati kesendirian dan keleluasaan saya.

Sampai akhirnya, saya tiba di depan sebuah rak yang memajang macam-macam coklat dari berbagai merk. Langkah saya terhenti. Tertarik, saya melihat-lihat varian coklat yang ditawarkan. Salah satu varian coklat menarik perhatian saya. Saya ambil satu, lalu mengamatinya. Melihat kertas pembungkus dan labelnya.

 Saat itulah sepotong kenangan terlintas di benak saya. Ini bukan coklat biasa. Setidaknya bagi saya. Coklat satu itu merupakan jenis coklat yang dulu sering diberikan sahabat masa kecil saya saat hari Valentine. Tiap tahun, saya menerima varian coklat itu darinya. Sedangkan saya biasa memberikan coklat dengan berbagai macam varian tiap tahunnya. Saling memberikan coklat, itulah rutinitas yang biasa saya dan sahabat masa kecil lakukan di hari Valentine.

Seketika, saya langsung teringat sahabat masa kecil saya itu. Dia gadis cantik berdarah keturunan yang sangat baik. Rona kecantikannya khas oriental. Saya suka itu. Wajah oriental, kulit putih, dan mata sipit membuat sahabat masa kecil saya itu menjadi gadis yang rupawan. Senang berbagi dan penolong, itulah dua kesan positif dari sosoknya. Lumpuh sejak lahir tak mematahkan semangat hidupnya. Ia justru periang dan penuh semangat dalam menjalani hidup.

Masih segar dalam ingatan saya enam tahun persahabatan kami di Elementary School. Dulu, saya sering mendorong kursi rodanya. Mengajaknya jalan-jalan di taman. Menolongnya semampu saya. Saat itu, kondisi penglihatan saya masih sangat bagus. Bahkan nyaris sempurna seratus persen. Sehingga saya mampu membantunya. Meski satu sekolah dan hampir tiap hari bertemu, tapi tiap sore kami sering bertelepon. Dia satu dari sedikit teman yang tahu nomor telepon rumah saya. Saat itu saya dan keluarga belum pindah rumah. Semuanya masih baik-baik saja.

Saya percaya. Sama halnya seperti ketampanan, kecantikan pun tak hanya di luar saja. Ada inner beauty, kecantikan yang terpancar dari dalam. Nah, sahabat masa kecil saya ini gadis yang cantik luar-dalam menurut penilaian saya. Dia anak baik, orang tuanya pun baik. Saya kenal baik Mamanya. Dia pun kenal baik Mama-Papa saya. Tuhan memanggil Papanya sejak kecil. Alhasil dia nyaris tak pernah mengenal Papanya.

Tiap kali saya mengikuti berbagai ajang kompetisi dan syukur Alhamdulillah selalu menjuarainya, dia selalu menyemangati serta mensupport saya. Saat saya latihan menyanyi, dia selalu menemani. Guru privat yang melatih waktu itu mengizinkan dia ikut masuk ruangan untuk menemani saya. Hari Minggu adalah waktunya ibadah ke gereja dan terapi syaraf. Sedangkan saya punya jadwal rutin siaran radio setiap Minggu pagi. Kebetulan saya dipercaya menjadi host program radio untuk anak-anak. 

Meski sibuk beribadah dan terapi, teman saya yang satu itu selalu menyempatkan waktu untuk mendengar saya siaran. Sungguh, hal itu membuat saya tersentuh. Waktunya ia berikan untuk saya. Kompasianer, bukankah waktu sangat penting dan tak bisa tergantikan? Saya lebih menghargai orang yang konsisten dan bisa meluangkan waktu dibandingkan orang cerdas yang inkonsisten dan tidak bisa memberikan waktu sedikit pun. Percayalah, waktu sangatlah penting dan berharga.

Kembali ke sahabat masa kecil, saya dan dia selalu bersama. Kebetulan juga kami sekelas. Saat kelas 5 dan 6, saya terpilih sebagai ketua kelas. Betapa susahnya menertibkan kelas dengan anak-anak super nakal dan super aktif seperti itu. Dulu, kelas saya dikenal paling berisik dan paling bandel murid-muridnya. Kesabaran ekstra saya berikan demi membuat kelas yang saya pimpin menjadi kondusif. Untunglah sahabat saya itu cukup baik dan pengertian. Sehingga dia mudah diatur. Selain itu, dia bisa diajak kerjasama dalam mengurus kelas.

Perbedaan budaya dan agama tidak menjadi halangan kami untuk bersahabat. Teman-teman sering menjuluki saya 'Bule'. Sedangkan sahabat saya itu diberi julukan yang berkaitan dengan rasnya, tapi saya tak tega menuliskannya di sini. Kami tak pernah bertengkar. Selalu kompak dan solid. Menjelang Natal, saya tak lupa memberi hadiah padanya. Sebaliknya, beberapa hari sebelum Lebaran, dia memberi saya hadiah yang saya sukai. Dari dialah saya tahu tentang Imlek dan berbagai tradisi Tionghoa lainnya. Saya pun bisa merasakan lezatnya kue keranjang saat Imlek karena dirinya. Di dekatnya, saya selalu berusaha membuatnya bahagia dan optimis dalam menjalani hidup. Saya menyayanginya. Saya perlakukan dia dengan perhatian dan cinta kasih. Sikap lembut selalu saya tunjukkan setiap kali berinteraksi dengannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline