Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Miss Perfeksionis

Diperbarui: 12 September 2017   12:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hanya menjalani kegiatan akademis tak cukup. Gadis secantik dan seperfeksionis Calisa Amandira selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Menulis, menyanyi, modeling, dan bermain musik adalah beberapa di antaranya. Ia melakukan banyak hal dan mengembangkan hobi bukan karena uang. Bila pun ia memperoleh pendapatan dari aktivitas-aktivitasnya, itu hanyalah bonus. Bukan tujuan utama. Bonus itu pun lebih sering disumbangkan dari pada dimasukkan ke rekening pribadinya. Ada hak orang lain dalam sebagian kelebihan materi yang didapatnya.

Seperti sore ini. Selesai kuliah dan pemotretan, ia bergegas menuju ruang latihan choir. Inilah yang disukainya. Bernyanyi dapat menjadi media katarsisnya.

Langkah Calisa terhenti di depan lift. Sesaat ia melihat ke kanan-kiri. Koridor itu kosong. Kemungkinan besar ia akan naik lift sendirian. Calisa sudah terbiasa sendirian saat naik lift.

Usut punya usut, lift di gedung fakultasnya dikenal horor. Banyak kisah horor yang beredar. Namun sedikit yang benar-benar bisa merasakan kehadiran makhluk halus di dalamnya. Calisa satu dari sedikit orang itu.

Dianugerahi penglihatan khusus membuat Calisa merasa senang bercampur waswas. Senang lantaran ia bisa melihat seperti apa makhluk-makhluk halus itu. Waswas sebab tak semua yang dilihatnya itu baik. Banyak pula yang jahat dan negatif. Ada dimensi lain di luar kehidupan manusia, dan Calisa menyadari itu. Suka atau tidak, manusia hidup berdampingan dengan makhluk halus walau ada yang menyadari kehadirannya dan ada pula yang tidak menyadarinya.

Ting

Pintu lift terbuka. Pelan-pelan Calisa melangkah masuk. Selangkah saja memasuki lift, ia telah diperlihatkan sosok-sosok transparan itu. Energi positif dan negatif menyatu di ruang sempit itu, Calisa dapat melihat, merasakan, dan mendengar kehadiran mereka.

Tangan gadis berdarah Melayu itu bergetar saat menekan tombol lift. Pintu lift menutup, kini ia benar-benar sendirian dan terpisah untuk sementara dari jangkauan para pengguna gedung di luar sana. Calisa berusaha berpikiran positif. Menganggapnya sebagai karunia. Bukankah tidak semua orang memilikinya?

Meski demikian, ia tak suka sendirian. Andai saja ada yang menemaninya. Calisa kesepian. Dicobanya menikmati kesepian yang melingkupinya. Terkadang dia menikmati, terkadang pula ia ingin keluar dari zona kesepian itu.

**    

"Calvin!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline