Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Idul Fitri dalam Dua Sisi: antara Sedih dan Bahagia

Diperbarui: 29 Juni 2017   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Idul Fitri identik dengan hari kemenangan. Setelah berpuasa selama satu bulaan penuh, umat Islam yang beriman dan menjalaninya akan kembali dalam keadaan suci seperti bayi yang baru lahir. Ramadhan pergi, Idul Fitri datang.

Bahagia sudah pasti. Sebab perjuangan kita di bulan Ramadhan terbayar dengan datangnya kemenangan. Di sela-sela rasa bahagia, terselip rasa sedih. Kesedihan melepas kepergian Ramadhan. Bulan paling mulia, bulan berlipatnya pahala dan cinta, harus dilepas begitu saja. Siapa yang tidak sedih?

Rasa sedih dan bahagia tak bisa dilepaskan dari perayaan Idul Fitri. Kedua perasaan itu dapat dirasakan bersamaan, dapat pula dirasakan terpisah. Padahal kita semua tahu, euforia perayaan Idul Fitri berlangsung tak lebih dari seminggu. Biasanya kita kembali disibukkan dengan segudang aktivitas seminggu setelah Idul Fitri.

Saya sendiri merasakan dua perasaan itu saat Idul Fitri. Tentunya bahagia setelah berhasil melewati Ramadhan. Sedih karena mesti terpisah dengan bulan suci yang dimuliakan ini.

Namun, ada hal lain yang memaksa perasaan sedih menyeruak ke hati saya. Idul Fitri dua tahun lalu, saya gagal dalam SNMPTN dan SBMPTN. Dua kegagalan itu membuat perasaan saya tak menentu. Lebaran yang penuh kegembiraan ternoda oleh gagalnya saya menembus tes universitas. Praktis saya mengikuti seleksi mandiri. Tes tertulis setelah pengumuman SBMPTN yang sering digunakan sebagai jalan pintas saat tidak diterima di universitas pilihan. Seleksi mandirilah yang mengantar saya ke bangku universitas.

Sementara Idul Fitri tahun lalu, saya sakit. Alhamdulillah bukan sakit serius. Tetap saja hari kemenangan tak bisa terlewati dengan lancar karena datangnya penyakit.

Idul Fitri tahun ini, saya mengalami kejadian menyedihkan dengan pria yang saya cintai. Saya tidak bisa menceritakannya secara langsung. Pastinya, kejadian di hari pertama Lebaran itu melukai hati saya. Bisa saja saya berpura-pura bahagia di depan semua orang. Seolah kejadian itu tidak mempengaruhi diri saya. Hanya dalam tulisan, cerita, dan kata, saya benar-benar total mencurahkan perasaan.

Kesedihan berimbang dengan kebahagiaan. Faktanya, kesedihanlah yang lebih lama bertahan dibandingkan kebahagiaan. Sudah banyak penelitian dan jurnal motivasi yang memuat fakta itu.

Ada dua alasan kesedihan lebih lama bertahan dibanding kebahagiaan. Pertama, kesedihan datang dari peristiwa penting yang mempengaruhi kehidupan kita. Peristiwa penting yang banyak mempengaruhi kualitas hidup kita, baik di masa lalu maupun masa kini. Kedua, kita terus-menerus memikirkan penyebab dari kesedihan itu.

Dilansir dari Prevention, perenungan atas penyebab kesedihan tak dapat terhindarkan. Seseorang terus merenungi dan menyesali penyebab kesedihan itu. Kesedihan itu bisa saja telah terlewati. Hanya saja, penyebab dari kesedihanlah yang terus dipikirkan. Tak heran bila orang lebih lama larut dalam kesedihan.

Menyalahkan keadaan bukanlah cara terbaik. Keadaan tak dapat disalahkan. Menyalahkan orang lain pun tak bisa. Kita tidak tahu kondisi orang lain yang mungkin menjadi penyebab kesedihan kita. Tiap orang mempunyai kisah masa lalu, situasi, dan kondisi berbeda-beda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline