Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Puasa Ramadan, Bentuk Cinta pada Orang Miskin

Diperbarui: 16 Juni 2017   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir pekan lalu, saya dan keluarga pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Saya pribadi berniat mencari parfum. Sebab parfum saya hampir habis. Tapi produk parfum yang saya cari tidak ada. Jadinya saya malah membeli lipstick dan makanan favorit saya.

Ketika saya dan keluarga selesai memasukkan barang-barang belanjaan ke mobil dan bersiap pulang, terdengar bunyi goresan di bagian belakang mobil kami. Serentak kami kaget dan menekan tombol power window. Sejauh penglihatan saya yang terbatas itu, nampak seorang pemulung kecil berpakaian kotak-kotak. Dia masih anak-anak. Entah karena iseng atau apa, dia sengaja menyentuh mobil kami. Hanya itulah yang bisa saya amati.

Saya tak tahu apa salah saya dan keluarga. Sampai-sampai anak pemulung itu ingin menggores mobil kami. Meski demikian, kami sama sekali tidak marah. Toh mobil kami tidak apa-apa.

Peristiwa kecil di areal pusat perbelanjaan itu membuat saya bertanya-tanya. Apa motif anak itu menggores mobil kami? Apakah hanya mobil kami yang ingin digoresnya, ataukah semua mobil yang terparkir di sana? Mungkinkah anak itu hanya iseng semata?

Faktor keisengan ala anak-anak mungkin saja. Dan itu masih wajar. Setiap orang pernah mengalami fase kanak-kanak, dan saya yakin kita semua pernah melakukan kenakalan di fase itu. Sebaik-baiknya diri kita, pasti ada saja satu-dua kali niat berbuat kenakalan.

Bila dianalisis lebih jauh lagi, terdapat faktor pemicu lain yang lebih kompleks dibanding faktor iseng. Apa faktor itu? Tak lain rasa iri dan ironi.

Jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin makin lebar. Contohnya mudah saja. Di pusat perbelanjaan, supermarket, atau mall, pemandangan yang tersaji adalah lalu-lalang orang berkantong tebal yang ingin berbelanja. Mereka datang dengan mobil mewah, motor keren, atau taksi bonafide. Pakaian mereka bagus. Dengan uang di tangan, mereka siap membeli barang-barang pemuas kebutuhan dan keinginan. Mall, supermarket, dan pusat perbelanjaan hanyalah milik orang kaya.

Coba kita bandingkan dengan orang miskin dan kurang mampu lainnya. Mereka hanya bisa menatap penuh harap pada kemewahan pusat perbelanjaan tanpa bisa berbelanja di dalamnya. Kalau pun datang ke mall, tujuannya untuk bekerja. Misalnya menjadi pemulung, juru parkir, dll. Bagi mereka, mall dan pusat perbelanjaan hanya milik orang kaya.

Ironisnya, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kontras sekali perbedaan gaya hidup orang kaya dan orang miskin. Adanya kontradiksi itu menimbulkan rasa iri dan kesenjangan sosial. Rasa iri dilampiaskan dengan berbuat nakal atau merusak barang yang bukan miliknya.

Kembali ke kasus anak pemulung berbaju kotak-kotak itu. Saya berpikir. Andai saja dia paham, puasa Ramadhan yang dijalani umat Muslim selama sebulan penuh merupakan salah satu bentuk cinta pada orang-orang duafa seperti dirinya. Jika dia mau berpikir luas dan memahami esensi Ramadhan, pastilah dia takkan merusak mobil orang lagi.

Puasa Ramadhan mewujudkan rasa cinta pada orang miskin. Betulkah? Apa korelasinya Ramadhan dengan orang miskin?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline