Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Dia Miliki Hatimu

Diperbarui: 1 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat yang paling disukainya adalah saat rumahnya benar-benar sunyi. Sejak berumur enam tahun, ia sudah terbiasa tinggal sendirian di rumah. Jika kebanyakan anak lain takut ditinggalkan sendirian, ia justru senang. Sendirian membuatnya bebas melakukan dan memikirkan apa pun. Kesendirian membuatnya leluasa.

Seperti malam ini. Mamanya sedang mengikuti kegiatan rohani. Papanya pergi, sibuk dengan urusannya sendiri. Gadis bermata biru itu memanfaatkan kesendiriannya dengan menulis surat. Surat yang akan dikirimkannya untuk belahan jiwanya. Bukan sekedar surat, karena ia pun memberikan sesuatu untuk sang belahan jiwa di hari ulang tahunnya.

Kata demi kata ia tuliskan. Tak peduli tangannya tengah terluka. Sakit menusuk pergelangan tangannya tiap kali digerakkan. Darah menetes-netes ke atas kertas yang sedang ditulisnya. Otomatis kertas putih itu ternoda darah.

Si gadis terus menulis. Membiarkan alam sadar dan alam bawah sadarnya merangkai kata yang ingin ia ungkapkan. Ia hanya ingin belahan jiwanya memikirkan kata-katanya. Tentang cinta, keluarga, dan perhatian lebih untuk mereka.

“Albert, tegakah kamu meninggalkan keluargamu? Okey, kamu masih punya adik. Tapi adikmu juga sudah punya keluarga sendiri. Percayalah, orang tuamu sebenarnya membutuhkanmu. Tidakkah kamu ingat posisimu sebagai anak pertama? Haruskah kamu lari dari kenyataan? Kurasa, memberikan waktu dan perhatianmu untuk keluarga tak kalah mulianya. Apa kamu yakin akan membiarkan kedua orang tuamu hidup kekurangan? Tidakkah kamu ingin menaikkan derajat keluargamu dan menaikkan taraf hidup mereka? Memutus rantai kemiskinan dan mengubah nasib. Kemiskinan adalah nasib, kekayaan bisa dicari dengan doa dan usaha.”

Ia tertegun membaca tulisannya sendiri. Gadis bermata biru dan berambut panjang itu hanya berharap sang belahan jiwa akan memikirkan perkataannya baik-baik. Tak ada salahnya melihat permasalahan dari sudut pandang berbeda.

**    

Surat bernoda darah itu dilipatnya. Tidak rapi, namun hanya inilah yang bisa dilakukannya. Tepat pada saat itu, hujan mengguyur deras. Angin menderu kencang, suhu udara spontan turun dengan drastis. Si gadis berpiyama biru menyukai hujan. Ia melangkah ke ruang tamu. Bersandar ke birai jendela. Menangkupkan tangan dengan posisi berdoa. Saat hujan adalah salah satu dari beberapa waktu mustajab untuk berdoa. Dipejamkannya mata, ia pun mulai berdoa. Memohon permintaannya pada Dzat Maha Kuasa dan Maha Penyayang yang memiliki tempat mulia di Arasy-Nya.

Bunyi pintu pagar yang terbuka memecah kekhusyukannya. Terdengar derap langkah berlari. Disusul pintu garasi dibanting. Mamanya masuk dengan terburu-buru. Bajunya basah kuyup.

“Mama pulang duluan,” ucapnya sesampai di ruang tamu.

“Kenapa?” tanya gadis itu datar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline