Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Lembaran-lembaran Hidup: Aku Pun Ingin Hidup Normal

Diperbarui: 27 Februari 2017   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

1 Januari

Lembaran 1

Kata orang, ia cantik. Namun sering kali ia tak percaya. Ia ragu dengan kecantikannya sendiri. Kata orang, kulitnya putih dan matanya indah. Matanya berwarna biru. Salah satu teman ibunya menjulukinya Boneka Barbie. Benarkah itu? Seiring berjalannya waktu, ia mulai percaya. Kepercayaan dirinya kembali bangkit.

Umur dua tahun, ia sudah bisa membaca. Ia hafal semua warna. Kata guru-gurunya, tingkat intelegensianya tinggi. Kemampuannya menghafal dan menganalisis sangat cepat.

Umur tiga tahun ia sudah tahu arti toleransi. Pasalnya ia bersekolah di sekolah Kristen. Dalam usianya yang masih kecil, ia mengerti makna perbedaan. Ia menghormati teman-temannya. Ia menyayangi teman-temannya meski cara ibadah, doa, dan iman mereka berbeda.

Dimana pun ia berada, entah di sekolah atau di rumah, orang-orang menjulukinya Bule. Ia senang dengan julukan itu. Ia bahkan bangga karenanya.

Ia punya dua sahabat di masa kecil. Rasa simpati dan empatinya begitu besar. Pasalnya, dua sahabatnya yatim. Hanya dirinya yang mempunyai orang tua lengkap. Ia tak keberatan berbagi kasih sayang orang tuanya dengan kedua sahabatnya.

Salah seorang sahabatnya lumpuh. Ia senang tiap kali mengulurkan tangan untuk membantu sahabatnya. Mendorong kursi rodanya, membantunya dalam pelajaran, dan memberinya hadiah Natal. Sang sahabat pun mendukungnya. Jika ia mengikuti kontes menyanyi atau siaran radio, sang sahabat tak pernah melewatkan waktu untuk menyaksikan bakatnya.

Sejak kecil, ia suka menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju padanya. Ia suka itu. Bukan karena ia mengalami over narsistik sindrom, namun karena ia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa ia bukan anak perempuan biasa. Ia ingin menunjukkan dan memotivasi siapa pun dengan kemampuan, kecantikan, dan bakatnya. Sayang sekali, banyak orang sering salah mengerti. Ia sering dituduh sombong dan suka membanggakan dirinya sendiri. Padahal maksud sebenarnya tidak begitu. Ia benci pada semua orang yang mengatainya sombong. Mereka tidak pengertian, tidak benar-benar memahami dirinya.

Ramadhan tahun 2007, ia mengajari sepupunya yang baru pindah rumah untuk bermain piano. Saat itu ia masih kelas 5 Elementary School. Sedangkan sepupunya yang ia ajari bermain piano kelas 7 Junior High School. Tak masalah, bukankah belajar tak harus dibatasi status, usia, senioritas, dan sejenisnya? Ilmu bisa didapat dari siapa saja dan dari mana saja.

Saat itulah ia tersadar. Ia senang saat mentransfer ilmu untuk orang lain. Kebahagiaannya terletak pada ilmu yang dibagi. Ilmu takkan habis meski dibagi pada banyak orang. Justru ilmu akan terus bertambah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline