Note:
Terinspirasi dari catatan kasus beberapa anak korban orang tua pilih kasih.
**
Gadis cantik 18 tahun itu menangis. Pria tampan berkemeja putih di sampingnya menyodorkan sehelai tissue. Lembut menepuk bahunya. Ruang praktik psikolog itu sempurna hening.
“Sudah tenang? Mau lanjut cerita lagi?” tanya pria tampan itu lembut.
“Iya, Albert. Aku lanjutkan.” Gadis bernama Yora itu menyeka sisa air matanya.
“Sangat tidak enak saat dibanding-bandingkan, apa lagi dengan saudara kembarku sendiri. Yori selalu dipandang lebih baik. Dia anak berprestasi, pintar, cantik, dan multitallent di mata keluarga. Sedangkan aku? Saat memenangkan Putri Praja Pariwisata saja mereka tak percaya. Giliran Yori yang terpilih jadi Mojang Kabupaten Bandung Barat mereka percaya dan langsung bercerita pada keluarga besar. Dimana adilnya semua itu, Albert? Terkadang aku lebih memilih jadi anak tunggal saja dari pada punya saudara kembar.”
Seketika Albert teringat Chelsea. Anak adopsinya. Putri tunggalnya yang cantik dan masih berusia 9 tahun. Sejauh ini, Chelsea bahagia menjadi anak tunggal. Meski tanpa seorang adik dan tanpa seorang ibu.
“Lho, memangnya kamu nggak sayang sama Yori?” tanya Albert kebingungan.
“Sayang kok...tapi aku kecewa sama ortu. Mereka tega banding-bandingin aku sama dia. Aku kan juga mau disayang, diperhatiin, dimanja...kayak si Yori itu.” Sahut Yora putus asa.
“Yora, semua orang tua menyayangi anaknya. Mereka memiliki alasan kuat untuk mengistimewakan satu anak dibanding anak lainnya. Coba kamu cari alasan kenapa orang tuamu lebih mengistimewakan Yori. Tapi kamu perlu tahu satu hal: orang tua telah berusaha bersikap adil, meski terkadang anak merasa orang tua kurang adil pada mereka.”