Lihat ke Halaman Asli

Belajar Metode Free Writing Bersama Patjar Merah

Diperbarui: 12 Maret 2019   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Festival Patjar Merah di Jalan Gedong Kuning, Yogyakarta (Dokpri)

Masuklah ke dalam dirimu. Temukan satu alasan yang memerintahkan kamu untuk menulis. Lihatlah apakah alasan itu sudah menyebar ke keseluruhan dirimu, ke hatimu. Tanya pada dirimu sendiri, apakah aku akan memilih mati kalau ada orang yang melarangku menulis? Rainer Maria Rilke

Penulis yang baik terlahir dari pembaca yang baik. Pepatah tersebut cukup jelas menggambarkan bahwa terdapat korelasi erat antara pembaca dan penulis. Relasi tersebut dijembatani oleh benda bernama buku. Bahkan seorang @trinitytraveler mengapresiasi dunia literasi di India yang memakmurkan seluruh kalangan (pembaca maupun penulis). Di negara tersebut akses buku murah melimpah seiring dengan pertumbuhan minat baca masyarakatnya.

Lain halnya dengan Indonesia, generasi masa kini dinilai terlalu asyik dengan gadget hingga memudarkan minat bacanya sendiri. Benarkah demikian? Mencoba menjawab asumsi soal minat baca, Irwan Bajang dan Windy Ariestanty melahirkan festival literasi bertajuk Patjar Merah. Uniknya, Patjar Merah diambil dari nama seorang tokoh di buku "Patjar Merah Indonesia" karya Matu Mona. Patjar merah merupakan tokoh spionase yang direpresentasikan sebagai Tan Malaka, salah satu pejuang di Indonesia.

Dokpri

Festival yang dilengkapi dengan pasar buku ini sukses memikat ribuan pengunjung selama 2-10 Maret 2019. Selain diskon buku up to 80%, Patjar Merah juga menghadirkan beberapa penulis dan pegiat literasi nusantara. Joko Pinurbo, Ivan Lanin, Alexander Thian, Adimas Imanuel, Jenny Jusuf, Syahid Muhammad, Theoresia Rumthe, serta tokoh lainnya turut menyemarakkan acara.

Ribuan buku berjajar dengan rapi lengkap dengan keterangan genre-nya. Nampak pengunjung asyik larut memilih buku kesukaannya. Harga real bervariasi, dari Rp 5.000,- hingga ratusan ribu rupiah. Antre di depan kasir juga menjadi pertanda bahwa pecinta buku cetak belum punah. Bahkan saya yakin dunia e-book tak memiliki peminat sebanyak ini. Lalu, apa lagi yang masih diragukan soal minat baca?

Kalau saja manusia bisa membangunkan 25% dari potensi yang dimilikinya, dia sudah bisa disebut sebagai genius. John Maxwell

Jumat (08/03) saya berkesempatan menikmati obrolan bersama Trinity dan mengikuti lokakarya @beradadisini. Berikut dua hal yang yang menarik bagi saya dari kegiatan hari itu:

Hanny Kusumawati berbagi ilmu (Dokpri)

#Menulis untuk menemukan jati diri

Dominasi atas sesuatu adalah perbuatan tidak adil. Apakah kamu setuju dengan pernyataan tersebut? Saya sih yes, pada kondisi tertentu. Hanny Kusumawati (@beradadisni) dalam lokakarya Writing to Self Discovery memberikan contoh keseimbangan tangan kanan dan kiri. Para peserta diminta latihan menulis menggunakan tangan yang tidak dominan. Tangan dominan menyuguhkan logika, sementara tangan tidak dominan not analytic and to the point.

Saya yang dominan kanan mulai mencoba menulis dengan tangan kiri. Hasilnya? Tentu kurang memuaskan. Tetapi dari sana kita belajar bahwa keseimbangan adalah pondasi dari keadilan. Keadilan akan membawa hasil yang lebih. Meski menulis dengan tangan kiri, pesannya dapat tersampaikan dengan baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline