"Saya ingin pekerja rumahan diakui sebagai pekerja. Saya ingin hak kami sebagai pekerja diakui dan saya ingin kontrak tertulis antara kami dan pemberi kerja kami," kata Ida Fitriani (47), salah satu mitra asal Semarang dalam pelaksanaan Proyek ILO/MAMPU-Akses ke Ketenagakerjaan dan Pekerjaan Layak untuk Perempuan yang didanai oleh Pemerintah Australia.
Pernyataan Ida tersebut mengungkapkan sebagian dari realita di balik dunia pekerja rumahan. Lantas, apa yang dimaksud dengan pekerja rumahan? Pekerja rumahan yang biasa disebut pekerja sub-kontrak seringkali rancu dengan pekerja rumah tangga. Pekerja rumah tangga adalah pekerjaan mengurus rumah tangga, misalnya memasak, muncuci, menyapu, dan lain-lain.
Sementara pekerja rumahan (ILO Convention on Home Work No.177 Tahun 1996 di Kantor Perburuhan Internasional, Jenewa) didefinisikan sebagai pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang, yang disebut sebagai pekerja rumahan: (i) di rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain tempat kerja pemberi kerja (ii) untuk mendapatkan upah (iii) yang menghasilkan suatu produk atau jasa sebagaimana ditetapkan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan, bahan atau input lain yang digunakan.
Dengan kata lain pekerja rumahan adalah tenaga kerja suatu perusahaan yang mengerjakan tugasnya di rumah masing-masing. Biasanya mereka mendapat upah dengan sistem borongan (dihitung dari jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikan).
Pekerja rumahan dapat ditemukan di berbagai sektor industri, misalnya pengolahan makanan, tekstil, pakaian, dan kerajinan. Klasifikasi pekerja rumahan terbagi dalam 2 bentuk, yaitu bersifat tradisional (menjahit, mengemas, menenun, membuat kerajinan, penata rias, dll) dan modern (pengetikan, data entry, konsultan, penulis, programmer, dll). Beberapa di antara pekerja tersebut adalah penyandang disabilitas. Mereka masuk sebagai pekerja rumahan melalui jaringan sosial (teman, keluarga, tetangga).
Meski keberadaannya sudah cukup lama, para pekerja rumahan belum mendapat perhatian khusus dari pengambil kebijakan, pengusaha, serikat pekerja dan masyarakat umum. Bahkan identitasnya tidak tercantum di statistik resmi dan undang-undang ketenagakerjaan.
Berikut upaya yang dapat dilakukan oleh stakeholder terkait dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja rumahan:
1. Memenuhi Hak Dasar Pekerja Rumahan
- Kontrak Kerja
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ILO-Mampu, sebagian besar pekerja rumahan tidak memiliki kontrak kerja tertulis. 47% dari total sampel penelitian mengaku hanya mengandalkan perjanjian lisan.
Hal ini seharusnya ditinjau ulang oleh pihak pemerintah (dinas Ketenagakerjaan) agar pemberi kerja tidak berlaku sewenang-wenang terhadap hak pekerja rumahan. Sementara pekerja rumahan juga lebih tenang dengan perjanjian tertulis yang akan menunjukkan "status" mereka sebagai pekerja yanag patut dihargai.
- Perlakuan Setara dan Non-diskriminatif
Pekerja rumahan (home based workers) menjadi salah satu contoh konkrit adanya pola relasi yang dibangun di bawah naungan kaum kapitalis yang notabene beridiologi patrirkhi dengan segala atributnya.