Mengikir Ketumpulan
Oleh: Latifah Hardiyatni
"Kamu mau memikirkan cara apa lagi? Percuma! Sekeras apa pun kamu mencoba pada akhirnya akan menyerah dan memilih berdamai denganku."
"Diam! Kamu bisa diam tidak? Ini belum subuh dan kamu terus mengoceh hingga telingaku berdenging."
"Hahaha!"
Demi apa dia malah tertawa dengan suara sumbang seperti itu. Rasanya ingin kusumpal mulutnya yang tak bisa berhenti berbicara sejak semalam.
Terpaksa aku bangkit dari ranjang dengan busa usang yang sudah mengempis di bagian tengahnya. Ia masih saja menempel di atas kepala layaknya parasit. Lengket dan sangat rekat. Aarggh! Menyebalkan.
Aku tak ingat sejak kapan ia mulai ikut denganku. Seingatku dulu ia memang sudah ada di sana. Namun, belum sebesar sekarang. Mungkin ukurannya dulu hanya sebutir kelereng. Kini, hampir menutup seluruh rambutku.
Jika saja penampilannya sedap dipandang mata, ini kebalikannya. Warna kuning dengan rekahan-rekahan layaknya tanah kemarau. Ia berhasil menumpulkan pikiran.
Kenapa tak keramas? Begitu pemikiran kalian? Atau tak kesalon saja?
Percayalah! Aku pernah melakukan semua itu. Alih-alih berhasil dan pikiranku tak lagi tumpul yang ada hanyalah pening sebab tabungan terkuras habis. Ya! Aku memang sial. Sial setelah bertemu dengannya yang entah sejak kapan beranak pinak di atas kepalaku.