Ada apa dengan tanggal 10 November? Benar, 100 untuk Anda pada tanggal ini merupakan hari bersejarah yang biasa kita peringati dengan hari pahlawan. Hari nasional ini menjadi saksi suci deras pengorbanan serta “keseriusan” bangsa Indonesia menggapai kemerdekaan yang hakiki. Sekadar Flashback, bangsa kita memiliki tinta hitam yang kelam dimana tiga abad lebih pernah dikepung gejolak kolonialisme. Perjalanan panjang melewati ribuan duri dinamika demi dinamika dihantam begitu saja demi meraih sebuah kata bulat “Merdeka!”.
Negara Indonesia dikenal dengan nama Bhineka Tunggal Ika. Julukan yang luar biasa menunjukkan kekayaan Indonesia dari segi suku, agama, ras, maupun adat namun hal tersebut bukan berarti perpecahan bahkan dengan bangga bersatu dibawah panji Indonesia. Terbukti buah dari persatuan ini mengantarkan Indonesia dalam kemerdaaan hingga detik ini. Realita ini menunjukkan bahwa nilai persatuan amat luar biasa dimana membutuhkan keterlibatan segala elemen baik golongan muda maupun tua. Makna persatuan Indonesia erat kaitannya dengan nasionalisme (cinta tanah air) yang menjadi landasan. Lantas pernahkan terlintas dibenak Anda sebagai orang tua untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada Anak sedini mungkin?
Realitas yang tidak dapat dipungkiri problem terbesar bangsa kita adalah degredasi moral yang melanda kaum muda. Padahal bila kita mendengar dari cerita mulut ke mulut leluhur kita, kaum muda dahulu senantiasa menjunjung nila-nilai moral etika negeri bahkan idealisme mereka kuat terhadap berdirinya negara Indonesia. Muncul tanda tanya besar, mengapa bisa lunturnya jati diri bangsa berlangsung tiada habisnya? Hal ini dapat dikaji dari aspek internal individu berdasarkan ilmu psikologi (kejiwaan manusia).
Teori perkembangan tahap operasional konkrit yang dikemukakan oleh Piaget sebagai seorang ahli psikologi. Beliau menjelaskan bahwa pada tahap tersebut (usia 6-12 bulan) terdapat ciri penting yaitu mulainya proses penggunaan logika yang memadai. Hal ini ditunjukkan dari kemampuan anak mengurutkan objek, mengidentifikasi benda, hingga kemampuan memahami orang lain (bekurangnya sifat egosentris). Lazimnya pada masa ini anak-anak menginjak masa SD. Bisa dibilang perubahan besar yang akan dihadapi dari faktor kejiwaan hingga lingkungan.
Bila dibenturkan dengan abad 20 masa kini aspek modernitas beserta turunannya yaitu globalisasi tiada terhindarkan. Oleh karenanya jangan heran bila kita temui beberapa budaya Indonesia yang pudar seperti budaya tegur sapa yang seolah menjadi barang langka, boro-boro menyapa permainan tradisional saja tak lagi ditengok. Tiada lain ini terjadi akibat gadget yang telah menjadi candu, banyak anak dengan mudahanya menghafal lagu asmara dibanding lagu nasional atau lagu daerah, tontonan kartun atau film yang jauh dari nilai-nilai bangsa, dsb. Pada tahap ini anak masih tergolong lugu seringkali kuatnya pengaruh luar yang membudaya membuatnya kesulitan membedakana antara hal baik dan buruk. Oleh karenya peran orang sekitarnya amat penting (pengasuh utamanya) sebagai media pengawas, pengarah dan pengontrol.
Nasionalisme (cinta tanah air) ibarat jantung negara. Apabila terjadi kerapuhan maka gejolak atau rong rongan akan mudah menghancurkan. Sebagaimana teori empirisme beranggapan bahwa anak – anak merupakan kertas putih seperti pada analogi teori tabularasa yang mana anak-anak dapat dikondisikan sesuai pengaruh apa yang ia dapatkan. Berangkat dari rasa peduli dan menghargai besarnya jasa pahlawan maka selayaknya kita pertahankan kegemilan negeri indonesia dengan mempersiapkan generasi emas yang berjiwa nasionalisme tinggi yang kelak akan menyetir pemerintahan mendatang. (LFA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H