Lihat ke Halaman Asli

Tiga Malam Kebisuan

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga Malam Kebisuan

Oleh Latif N. Janah

Aku masih menyendiri di teras depan. Istriku kubiarkan tidur duluan. Tak enak memang, selama dua hari ini aku tak banyak bercakap dengannya. Barangkali, hatinya sakit. Tetapi, aku sungguh tak tahu mau memulainya dari mana. Aku belum sepenuhnya bisa menerima keputusannya mencabut Hafiz dari pesantren.

Dua tahun lalu, saat kuutarakan maksudku memondokkan Hafiz di pesantren, istriku mengangguk setuju. Bahkan, ia sangat yakin dengan keputusan yang kami ambil ini. Ia sendiri yang memboyong Hafiz ke pesantren ketika saat itu aku masih di Jepara, bekerja. Sepulangnya, aku begitu lega saat mendengar Hafiz kerasan di pondokkan di sana. Belakangan, tepatnya sepekan lalu, tanpa sepengetahuanku juga, ia mencabut Hafiz dari pesantren. Saat kutanyakan, ia terisak pelan.

Maka entah bagaimana, aku pun dibuat marah olehnya. Barangkali, karena aku seorang lelaki, yang ditakdirkan menjadi khalifah dalam rumah tangga, aku tak bisa menerima ia yang  terkesan seenaknya mengambil keputusan. Aku merasa terhina, seolah dirinya tak pernah menganggapku sebagai kepala keluarga.

“Aku tak ingin kau memarahi Hafiz, Pak,” ucap istriku di sela isaknya. Aku terpaku menatapi bagaimana air mata begitu mudah membanjiri ujung matanya.

“Justru sekaranglah aku harus memarahimu,” kataku dengan nada tinggi. Aku tak bisa lagi menahan darah yang sepertinya telah menandak-nandak di ubun-ubun.

“Jadi, sejak kapan kau menyembunyikan kelakuan Hafiz yang seperti itu?” Nadaku semakin tinggi. Aku membayangkan Hafiz dipanggil Kiai Sodiq ke ruangannya. Ditanya ini-itu.  Atau, ia tiba-tiba dikucilkan teman-teman sekamarnya, semacam mendapat perlakuan berbeda. Aku beristighfar dalam hati.

“Aku tak tega melaporkannya padamu, Pak. Kupikir, dengan mengambil Hafiz dari sana, ia akan lebih baik. Atau, setidaknya tidak akan semakin parah.” Isaknya sedikit mereda. Aku dapat membaca ketakutan dari mimik wajahnya.

Lantas, istriku mengisahkan bagaimana kelakuan Hafiz di pesantren selama ini. Ia yang setahun pertama terlihat baik-baik saja, mendadak berubah setelah tahun kedua. Tepatnya setelah aku dan istriku jarang mengunjunginya lagi. Ia menjadi badung, sering keluar tanpa seizin wali kamarnya. Sampai pernah, suatu malam, ia kepergok merokok di gudang dekat kamarnya. Memang, merokok itu tidak haram, tapi jika di pesantren, hal-hal makruh lebih baik ditinggalkan. Dan yang membuat amarahku meletup-letup, Hafiz melakukannya saat santri yang lain tengah berzikiran di malam Nisfu Sya’ban.

Aku tak pernah menyimpan kecurigaan pada anakku satu-satunya itu. Mungkin, karena memang dari kecil, kami; aku dan istriku tak pernah mengajarinya hal-hal buruk. Ah, tentu saja. Kukira tak ada orang tua mana pun yang memberikan contoh buruk untuk anaknya. Bagaimana pun, anak adalah duplikat orang tua. Anak adalah mesin fotokopi, dan orang tua berkewajiban menoreh kebaikan untuk difotokopikan.

Sejak kecil pula, aku dan istriku menyekolahkannya di Madrasah. Sembilan tahun ia menamatkan pendidikan madrasahnya. Dan sekarang, saat memasuki SMA, kami memilih memondokkannya. Kami sadar betul, pendidikan karakter harus diterimanya di samping  pelajaran yang lain. Tersebab itulah, aku, yang sejak kecil memang tak begitu pandai dalam hal mengaji ingin sekali, anakku kelak tak sepertiku. Gagal sudah bila Hafiz, nantinya hanya menjadi orang macam aku, yang memang tak bisa apa-apa selain mengontrol data dan keuangan perusahaan. Aku merasa miskin ilmu, dan anakku tak boleh serupa denganku. Tak boleh!

Angin berkesiur pelan. Jalanan sedari tadi lengang. Sisa rokokku kutandaskan dalam asbak. Aku mendengar istriku memanggil, mengajakku masuk ke rumah. Ah, hatiku serasa masih begitu kaku. Suaranya kubiarkan mengambang  tanpa jawaban. Dari dalam hati, sebetulnya aku tak mau mendiamkannya. Tapi, rupanya, hatiku telah dikuasai amarah.

Rintik hujan yang menitiki tanah sejak mulai salat Tarawih tadi masih tetap begini. Aku membaringkan tubuhku di atas kursi panjang di teras, sembari memikirkan bagaimana nasib Hafiz ke depan. Inilah Ramadan yang kulalui penuh kegamangan. Aku juga tak sanggup berkata-kata di hadapan kerabat saat Idul Fitri tiba nanti. Tak sanggup menjawab jika mereka mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan, semisal mananyaiku bagaimana aku mendidik Hafiz. Tentu, aku akan dinilai gagal. Istighfar kueja lagi pelan-pelan.

***

Buka puasa terasa amat kaku. Kolak tape bercampur pisang kepok kesukaanku tak terlihat menggiurkan seperti biasa. Kubasahi tenggorokanku dengan es sirup saja. Istriku hanya mengajak Hafiz berbincang sesekali.  Ia mencoba menawariku perkedel kentang yang  baru saja selesai digorengnya. Kutolak dengan halus. Sedang Hafiz, tak sedikit pun menatap ke arahku. Mungkin saja, sisa-sisa amarah masih mengendap pada gelagatku yang, jujur saja, aku pun tak bisa  menyembunyikannya.

Begitu pun menjelang Isya. Biasanya, aku dan istriku akan berbincang ringan tentang apa saja yang kami lakukan seharian. Aku bahkan kerap menggodanya tentang keinginanku memiliki anak kedua. Maklum, rasanya belum lengkap jika hanya ada seorang anak laki-laki saja di rumah tanpa adanya anak perempuan. Jika  kami tua nanti, aku tak ingin merepotkan Hafiz sendirian. Aku ingin ada seseorang yang diajaknya berbagi.

Malam telah larut. Istriku dan Hafiz belum pulang. Kata Pak Ramlan, tetanggaku, yang berumah di samping kanan, sekarang ada majelis pengajian setiap malam Jumat. Memang baru berjalan tiga mingguan, tetapi jamaahnya sungguh luar biasa. Sebelum tausiyah diberikan, ada yang memimpin zikir lebih dulu. Hatiku berdecak. Sungguh kagum dengan perubahan  di lingkunganku yang begitu kentara. Jangankan pengajian, dulu, rasa-rasanya, orang ke masjid saja hanya beberapa.

Sepulang istriku dan Hafiz dari masjid nanti, aku harus bicara. Sungguh, aku tak akan memperlama lagi kebisuanku. Kurasa, cukup bagi Hafiz untuk mengerti maksudku mendiamkannya. Aku ingin ia paham, bahwa aku tidak sedang menaruh kemarahan yang berlebihan atas sikapnya. Kuharap ia mampu mencerna itu. Aku juga tidak mau mencontohkan hal semacam ini jika kelak ia mempunyai anak.

Aku mulai menyusun kalimat apa yang serasa pantas untuk mengawali perbincangan kami nanti. Kalimat yang benar-benar bisa mewakili apa yang kurasakan; Aku tidak ingin memerlihatkan egoisku, namun aku juga tidak mau terkesan lembek dalam mendidiknya. Setidaknya, aku tak mau terlihat berapi-api jika nanti  mengajaknya bicara.

Sudah hampir pukul sepuluh malam. Aku masih termangu menunggu istriku. Terdengar tangisan anak bungsu Pak Ramlan. Aku lantas teringat Hafiz saat kecil dulu. Ketika itu, kira-kira ia masih berumur enam tahun. Kuajak ia ke masjid tiap hari.  Kerap kali, ia mengganggu anak-anak yang tengah belajar mengeja iqra di serambi masjid selepas Tarawih. Dari bibirnya yang mungil, perlahan ia menirukan suara alif-ba-ta.  Aku senang bukan main saat itu, tentu juga istriku. Sampai ia lulus Madrasah, aku terus menyengatnya dengan dukungan agar ia masuk pesantren.

***

Aku tak tahu sejak kapan tertidur di teras. Kulihat pintu tertutup, namun tak terkunci. Kursi yang kududuki sudah diambil alih oleh embun malam yang dingin. Gemerisik serangga malam tak mampu mengalahkan kesunyian. Kuembuskan napas pelan. Lekas, aku masuk ke kamar. Istriku sudah pulas di ranjang. Tiba-tiba aku merasa lelah sekali, dan ingat apa yang hendak kulakukan sebelum tertidur tadi. Tapi, rasanya tak mungkin jika aku harus membangunkan istriku dan Hafiz untuk hal ini. Biar besok saja. Tapi, tunggu dulu!

Kudengar seseorang menutup pintu. Aku yakin itu karena sekali pun pintu itu tak bersuara keras,  ada bunyi aneh tiap pintu itu ditutup. Saat aku mencapai luar kamar, saat itulah pandanganku dan Hafiz bertemu. Subhanallah, anak laki-laki satu-satunya yang kumiliki ini sungguh duplikatku secara fisik. Tumbuh tinggi besar, berperawakan persis sepertiku. Kami sama-sama termangu dalam kebisuan yang canggung. Detik terasa berjalan melambat.

“Salat Tahajud, Pak?” Ah, suara Hafiz. Suara yang akhirnya terdengar setelah kubungkam dengan kediaman.

Bergegaslah kami ke belakang. Basuhan air yang megucur dari keran terasa dingin membekukan. Sebeku bibirku  yang gemetar menahan gigil. Aku tak ingat lagi tentang rokok,  pun tentang segala perilaku Hafiz belakangan. Yang kulihat di hadapanku sekarang, anakku yang berbahu jenjang. Melafazkan Alquran dengan mantap meskipun lirih dan pelan. Barangkali, inilah nikmat yang dikirim Tuhan menjelang purna Ramadan.(*)

Gemolong, Ramadan 2013




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline