Lihat ke Halaman Asli

Lathifa Hasta

Universitas Sebelas Maret

Upacara Sekaten, Mempererat Hubungan Manusia denga Sang Pencipta (Parhayangan)

Diperbarui: 31 Oktober 2024   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tradisi Sekaten di Solo merupakan salah satu perayaan budaya yang kaya akan makna dan simbolisme, diadakan setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Acara ini tidak hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya yang mendalam serta hubungan harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam. Dalam konteks "Parhayangan", upacara ini menjadi ritual doa sebelum pembagian gunungan mencerminkan hubungan spiritual masyarakat dengan Tuhan. Dalam tradisi Sekaten, masyarakat memohon berkah atas makanan yang akan dibagikan, menunjukkan rasa syukur atas segala nikmat yang diterima. Pembunyian gamelan juga berfungsi sebagai bentuk pujian kepada Allah, menciptakan suasana sakral dalam perayaan ini

Tradisi Sekaten telah ada sejak abad ke-15 dan berakar dari upacara yang dilakukan oleh raja-raja Jawa untuk menjaga keselamatan kerajaan. Seiring waktu, tradisi ini bertransformasi menjadi sarana penyebaran agama Islam oleh Wali Sanga. Melalui kesenian gamelan, Sekaten menjadi daya tarik bagi masyarakat yang pada saat itu sangat menggemari seni tersebut. Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari menjadi simbol penting dalam perayaan ini, yang ditandai dengan pemindahan gamelan ke Masjid Agung Surakarta pada tanggal 5 Rabiul Awal.

Sekaten berlangsung selama tujuh hari, diakhiri dengan upacara Grebeg Maulud pada tanggal 12 Rabiul Awal. Upacara ini melibatkan iring-iringan gunungan yang berisi hasil bumi sebagai simbol syukur kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan. Masyarakat percaya bahwa mengambil bagian dari gunungan akan membawa berkah dan kelancaran rezeki.

Tradisi Sekaten di Solo, yang merupakan perayaan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, mengandung berbagai simbolisme yang mencerminkan prinsip Tri Hita Karana. Konsep ini menekankan pentingnya hubungan harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam. Berikut adalah beberapa simbolisme dalam acara Sekaten yang mewujudkan Tri Hita Karana:

  • Gunungan sebagai Simbol Kemakmuran

Gunungan yang dibawa dalam prosesi Grebeg Sekaten merupakan simbol dari kemakmuran dan hasil bumi. Terdapat dua jenis gunungan: Gunungan Jaler (pria) dan Gunungan Estri (perempuan), yang melambangkan keseimbangan gender dan keberagaman dalam masyarakat. Gunungan ini terbuat dari hasil pertanian seperti sayur dan buah, yang menunjukkan hubungan manusia dengan alam (Palemahan) dan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan (Parhayangan).

  • Prosesi Kirab dan Ngrayah

Prosesi kirab gunungan yang diiringi oleh masyarakat menunjukkan interaksi sosial yang kuat (Pawongan). Kegiatan rebutan gunungan, atau ngrayah, menggambarkan semangat persaingan sehat di antara masyarakat untuk mendapatkan berkah dari hasil bumi. Hal ini mencerminkan bahwa untuk mencapai tujuan hidup, manusia harus berani menghadapi tantangan

  • Alunan Gamelan sebagai Media Pemujaan

Musik gamelan yang dimainkan selama Sekaten berfungsi sebagai bentuk pujian kepada Tuhan. Melalui alunan musik ini, masyarakat menyampaikan rasa syukur dan penghormatan kepada Sang Pencipta, mewakili aspek Parhayangan dari Tri Hita Karana. Kegiatan ini menegaskan pentingnya spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari

  • Pembagian Makanan dari Gunungan

Setelah prosesi selesai, pembagian makanan dari gunungan kepada masyarakat melambangkan berbagi rezeki dan kebersamaan (Pawongan). Masyarakat percaya bahwa barangsiapa mendapatkan bagian dari gunungan akan mendapatkan berkah, sehingga menciptakan rasa saling peduli dan solidaritas antarwarga.

  • Ritual Doa dan Pemberkatan

Sebelum gunungan dibagikan, dilakukan ritual doa oleh penghulu masjid untuk memohon berkah atas makanan tersebut. Ini adalah wujud nyata dari hubungan harmonis dengan Tuhan (Parhayangan), di mana masyarakat mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Sang Pencipta dan memohon perlindungan serta keberkahan.

Tradisi Sekaten di Solo bukan hanya sekadar perayaan keagamaan tetapi juga merupakan cerminan dari nilai-nilai budaya yang mendalam. Dengan mengintegrasikan prinsip Tri Hita Karana, Sekaten menunjukkan bagaimana hubungan harmonis antara Tuhan, sesama manusia, dan alam dapat diwujudkan dalam praktik budaya sehari-hari. Melalui ritual-ritual dan simbolisme yang ada dalam perayaan ini, masyarakat Solo tidak hanya merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW tetapi juga merayakan kehidupan dalam harmoni yang seimbang.

Secara keseluruhan, Sekaten menjadi contoh nyata bagaimana tradisi lokal dapat mengakomodasi nilai-nilai universal seperti spiritualitas, solidaritas sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, perayaan ini tidak hanya relevan bagi masyarakat Jawa tetapi juga memberikan inspirasi bagi komunitas lain untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline