Lihat ke Halaman Asli

Aditya Idris

Freelance

Bulan Sabit Horizon Timur

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wajahnya terlalu indah untuk dirindukan. Auranya memancar mengalahkan pancaran indahnya bulan sabit yang bersinar di sebelah sana. Hati Ditya meringis. Menahan rindu yang takdapat tertahankan lagi. Kemilau sinar bayangnya menari-nari di pelupuk mata sayu Ditya. Di horizon timur yang sudah sangat indah, raut lelah wajah Ditya makin tidak dapat di bayangkan. Dia menanti kedatangan wajah ayu itu di sampingnya. Awan bergerak menuju arah bulan sabit yang terus tersenyum pada Ditya. Tetap dia ingat wajah indahnya, meski perlahan awan itu menutupi bulan sabit di horizon timur itu. Ditya meraut wajah itu dihatinya, berharap bayangannya tetap abadi di jiwanya.

Raganya lemas menyaksikan awan gelap yang tega menutupi indahnya bulan sabit. Langit perlahan-lahan memerah. Bintang kini tak bersahabat lagi padanya. Mereka pergi. Meninggalkan Ditya sendiri yang sudah kalut. Entah apa lagi yang harus dia perbuat? Siapa lagi wajah yang akan menemaninya malam ini? Dia ingat. Memorinya tak akan pernah lupa akan kejadian malam itu. Malam di mana dia harus menanggung kerinduan begitu mendalam pada seorang pujaan hati. Malam dimana sampai hari ini tak pernah dia pandang lagi. Malamdimana seorang kekasih mengalirkan air mata perpisahan. Malam di mana bulan sabit bersinar indah di horizon timur. Malam itu…. Zeli…!!!!

***

Gadis yang begitu manis. Ayunya terus terpencar. Itulah yang membuat hati Ditya terpanah dengan gadis imut berkerudung itu. Meski mereka kenal sudah lumayan lama, namun tak sedikitpun keberanian seorang Dityauntuk menyatakan apa yang dia rasakan pada gadis ayu itu. Entah sampai berapa lama dia memendam perasaan ini. Entah sampai kapan rasa ini hanya akan tersembunyi di dalam lubuk hatinya yang terdalam. Sampai kapan dia akan bertahan dengan semua ini. Sampai kapan dia akan berani mengatakan “ Zeli. Aku cinta padamu”.

***

Malam ini, kembali Ditya hanya sendiri. Sekali lagi hanya sendiri. Dia menikmati keindahan malam hanya sendiri. Malam ini, bulan terlihat sangat indah. Malam ini sempurna bentuk dari bulan. Memancarkan cahaya yang menghujani bumi malam ini. Ditya dibawa oleh imajinya berlari-lari. Khayalnya membawa dia ke tempat yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Tempat yang sangat indah. Tempat yang menyimpan suasana begitu romantis.

Dalam khayalannya itu, Ditya ditemani oleh seorang yang dia kagumi selama ini. Dia begitu senang, sampai dia tidak ingin tahu, sedang berada di mana dia sekarang. Bersamanya, bintang melompat-lompat begitu gembira. Bulan yang sejak tadi memeriahkan bumi dengan kilau cahayanya yang sangat terang masuk ke dalam rangkaian kebahagiaan yang ada dalam khayalan Ditya. Mungkin saat ini dia sedang berada di langit ke tujuh, tempat di mana semua bidadari cantik berkumpul, bercanda bersama.

Ditya tak tertarik dengan semua apa yang ada di tempat itu. Dia hanya tertarik pada seseorang. Zeli. Gadis manis berkerudung indah itu menjadi pelengkap imaji Ditya malam itu. Ditya tidak sedang bermimpi, namun dia sedang berimaji. Mengkhayalkan apa yang selama ini dia inginkan, namun tak ada keberanian untuk melakukan semua itu dalam imajinya, Zeli hanya mampu tersenyum pada Ditya. Zeli tak mampu berbuat apa-apa. Begitu juga dengan seorang Ditya. Bahkan, Ditya lebih parah. Dia hanya mampu berdiri tegak di tempat dia berdiri. Untuk tersenyum pun begitu sulit.

Ditya segera membuyarkan semuanya. Dia menyuruh imajinya kembali pada fikirannya. Dia tak mau khayalan itu ada pada dirinya. Di sana, bintang-bintang menertawai tingkah laku Ditya yang sangat aneh. Bahkan, dalam khayalan pun dia tak mampu bertatap muka dengan Zeli. Angin hanya menyapa Ditya dengan lembut. Semilirnya di malam itu merasuk sampai ke ulu hati. Bulan purnama yang semakin tinggi tetap setia bersamanya. Menemani malam Ditya yang sangat sepi. Hanya itu yang dapat bulan berikan.

“ Seandainya……” Gumam Ditya.

***

Malam itu lekat pandangannya kepada sang dewi malam yang menyinari alam jagat yang gelap gulita ini. Bintang yang dari tadi setia mengawal bulan purnama yang menambah kemeriahan malam itu turut merangkai cerita tersendiri. Zeli memandang bintang satu demi satu. Kilau demi kilau yang dipancarkan ribuan bintang menyiratkan sesuatu yang aneh.

Zeli mencoba menerka makna tersirat yang dibentuk oleh bintang-bintang itu. Zeli memperhatikan lebih seksama lagi makna khusus yang tersirat pada simbol yang dibentuk oleh gugusan bintang. Malam menjadi saksi kebingungan dari Zeli. Dia menelaah lebih dalam lagi semua yang dia pandangi. Mencoba dan terus merangkai makna khusus yang terbentuk malam itu.

Dalam kebingungannya. Saat dia mulai menyerah dengan apa yang diisyaratkan sang bintang malam untuknya, dia teringat sesuatu. Zeli makin bingung dengan semua ini. Dia mencoba menelusuri makna fikirannya dengan yang apa diperlihatkan gugusan bintang malam padanya. Dia merangkaikan titik demi titik yang diciptakan dari kilauan cahaya bintang. Dalam pencariannya, dia akhirnya menemukan makna simbol aneh itu.

“Ada apa dengan dia?”. Tanya Zeli sedikit agak heran ketika dia berhasil menemukan makna simbol dari bintang-bintang itu. Sebuah siluet wajah seseorang terpampang jelas di hadapannya. Sebuah wajah seorang yang dia kenali selama ini.

“ Kenapa dengan dia? Apa ini?” Kembali Zeli bertanya pada dirinya sendiri saat kebingungan memenuhi ubun-ubun kepalanya. Kembali dia memperhatikan dengan seksama gugusan bintang itu. Dia. Memang wajah orang itu yang tergambar jelas di hadapan Zeli saat ini. Wajah seorang insan yang sangat tidak asing lagi. Wajah seseorang yang sebenarnya menyimpan rasa begitu mendalam pada seorang Zeli, namun tak mampu dia untuk mengungkapkannya. Tidak salah lagi. Siluet wajah yang dibentuk oleh gugusan bintang itu tidak lain adalah wajah seorang Ditya.

***

Bulan sabit di horizon timur itu masih setia bersama Ditya malam ini. Bintang enggan menyapa tiap sela nafas seorang Ditya. Sang pujangga yang kini telah dilaruti perasaan yang makin tak terkendali. Hari-harinya hanya berselimut duka. Sunyi. Sepi. Memori-memori indah yang sangat kelam ini kini merasuki jiwa raga sang pecinta sejati. Rona wajah keceriaan yang selalu dia pancarkan kini jarang ditemukan terlintas di wajah sayunya. Hanya kesedihan yang tersirat di wajah manusia yang kini dilanda kerinduan yang amat sangat. Rindu pada seorang pujaan hati. Rindu pada seorang yang sangat ingin dia temui. Rindu untuk dia.

Bulan sabit yang bersinar di pucuk daun cemara, tepatnya di horizon timur makin menambah kegalauan Ditya. Dia tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Apa yang mesti dia perbuat untuk semua ini. Karena nasib tangan seorang manusia sedikit banyaknya ditentukan oleh Sang Penguasa alam. Takdir Ilahi tak dapat diketahui. Takdir dari-Nya tak dapat dilanggar, meski permohonan terbesar telah dilakukan.

***

Wajah Ditya makin meredup. Semakin hari raut kebahagiaannya seakan makin menghilang dari kehidupannya. Ada rahasia yang dia pendam selama ini. Dia sangat ingin menceritakan hal ini pada kekasihnya. Seseorang yang sudah 2 bulan menjalin taarufan dengannya. Seseorang yang sangat dia dambakan. Begitu pun sebaliknya. Dia sangat ingin membagi cerita ini padanya. Membagi kisahnya pada Zeli.

Keberanian Ditya tak kunjung muncul. Dia enggan menceritakan semua ini padanya. Dia belum berani menceritakan hal ini pada siapapun. Rahasia ini, hanya kedua orang tua Ditya yang mengetahuinya. Tak ada kesiapan bagi Ditya untuk menceritakan hal ini pada siapapun, termasuk pada Zeli. Dia tak ingin kekasihnya itu kaget dan ikut merasakan apa yang dia rasakan saat ini. Karena dia tahu, Zeli pasti akan ikut merasakan hal yang sama dengannya jika dia tahu semuanya.

Namun, agaknya Zeli dapat membaca semua kegelisahan yang dirasakan oleh Ditya. Dia dapat merasakan semua kegalauan yang dirasakan oleh Ditya. Dan, Zeli dengan sikap manisnya memberanikan diri untuk menanyakan kepada pujaan hatinya itu.

“ Ada apa Kak. Akhir-akhir ini saya melihat kanda tak seperti yang dulu. Selalu gelisah. Tidak semangat. Ada apa? Berbagilah denganku!” Katanya dibarengi senyum yang sangat indah.

Ditya sangat tidak ingin Zeli atau yang lainnya tahu tentang hal ini. Namun, melihat semua ketulusan yang dimiliki oleh Zeli, sepertinya hati Ditya terketuk. Lagi pula, dalam hati Ditya bergumam. Untuk apa semuanya disembunyikan. Toh, cepat atau lambat semuanya akan terkuak. Dan, Zeli bukan lagi orang lain bagi Ditya. Sedikit banyaknya dia sudah tahu masalah kehidupan Ditya. Begitupun sebaliknya. Meski hubungan mereka masih terbilang belum lama, namun kepercayaan di antara mereka sudah sangat tinggi.

Dengan menghela nafas panjang, Ditya memulai ceritanya. Awalnya, cerita ini dibawa santai oleh Ditya karena dia tak ingin Zeli kaget saat mendengar inti dari cerita Ditya. Meski, tak dapat dipungkiri, rasa kaget dari sosok gadis ayu itu akan ada. Dan…

“ Apa?” Teriak Zeli tak percaya. Tubuhnya langsung lemas. Otot-otot ditubuhnya serasa menjadi kaku seketika itu. Dia tak percaya. Sangat tidak percaya kalau kekasihnya itu kini menjadi salah satu penderita leukimia. Penyakit kanker darah.

“Itulah faktanya Dinda. Mau berkata apa lagi. Sudah garis tanganku untuk menanggung semua ini. Akupun syok ketika pertama kali mendengar berita ini. Namun, apa boleh buat. Aku mengganggap Allah sangat sayang padaku, sehingga memberikan cobaan ini padaku”.

Tak terasa, air bening dari mata sayu milik Zeli telah mengalir di pipinya. Entahlah, mengapa dia bisa meneteskan air mata itu? Mungkin, inilah yang dinamakan cinta sejati. Cinta dari seorang insan kepada insan lainnya.

***

Malam itu. Bertaburan bintang-bintang di langit malam. Sungguh meriah langit malam itu. Kelap-kelip bintang seakan-akan memeriahkan kehidupan malam yang begitu mempesona. Aura dari garis-garis yang terbentuk dari kilauan bintang membentuk warna cerita sendiri untuk malam yang makin melapuk. Titik demi titik bersatu padu, membukakan rasa baru untuk para penikmat malam.

Namun, ada yang kurang. Tidak hanya kurang. Bahkan sangat kurang. Malam ini, bulan tak sedikit pun muncul. Sang dewi tengah tersembunyi di balik kelambunya yang sangat indah. Seakan dia istirahat dari tugas-tugasnya untuk membuat malam makin terang. Dia menyerahkan semuanya pada ribuan pengawalnya. Tak sia-sia. Ribuan pengawalnya itu telah menjadikan malam itu sangat meriah. Dan Ditya merasa tak memerlukan sang dewi untuk malam ini, karena disampingnya kini sang dewi sejati miliknya telah hadir di sisinya. Menemani malamnya yang makin terasa indah. Membuyarkan semua kekecewaannya pada sang dewi yang sangat angkuh itu.

“Dinda. Mengapa malam ini aku merasa sangat aneh?” Kata Ditya di tengah kehangatan pembicaraan mereka.

“Maksud kanda? Aku tak mengerti. Mengapa kanda berbicara seperti itu?”.

“Entahlah. Yang jelasnya malam ini terasa berbeda. Sepertinya malam ini adalah malam terakhir untukku bersamamu. Hm… aku harap ini hanya perasaan sesaat saja. Sampai kapan pun, Insya Allah kita akan terus bersama. Kecuali, betul-betul Allah yang memisahkan kita”.

“ Kanda. Jangan pernah berkata demikian lagi”.

Di dalam kamarnya setelah kepulangan Zeli, Ditya terus berkhayal. Resah. Gelisah. Jiwanya bergejolak. Di satu sisi dia sangat bahagia karena bersama dengan Zeli malam ini. Namun, di sisi lain, hatinya tak menentu. Hatinya terus memikirkan Zeli. Dia masih mengingat saat Zeli pergi darinya. Hati Ditya bergejolak. Dia merasakan hal yang sangat aneh. Benar-benar aneh. Angin malam tiba-tiba bertambah dingin. Tubuhnya sangat menggigil. Namun, tubuhnya mengeluarkan keringat yang mengalir luar biasa derasnya. Dia sangat tersiksa. Tak mampu untuk berfikir lagi. Makin lama udara makin dingin. Seperti ada sesuatu yang mendekat. Seperti hal buruk akan segera terjadi pada Ditya. Entah, ada apa ini? Dia terus bergejolak. Dan, itu terus terjadi, sampai akhirnya Ditya menutup mata.

***

Tanah kuburan itu masih merah. Di atasnya telah tertabur bunga-bunga segar yang mulai layu. Isak tangis mewarnai pemakaman itu. Mendung pun menambah sendunya hari itu. Seakan-akan langit ikut menyumbangkan kesedihannya untuk seseorang yang begitu cepat meninggalkan alam fana ini. Sungguh ironis. Di usia yang masih sangat muda, Sang Ilahi telah memanggil dirinya mendampingi-Nya. Dia telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Terbaca jelas, di batu nisan itu tertulis ukiran nama insan yang baru saja menghadap Sang Ilahi. Telah mendahului insan-insan lain di dunia ini.

NURUL ARZELI MAHMUD

Dia begitu cepat meninggalkan dunia ini. Kecelakaan yang dialaminya saat pulang dari rumah Ditya telah membuatnya terlelap untuk selama-lamanya.

Di sana. Ditya terlihat pucat. Dia mencoba untuk tabah. Meski, hatinya menangis menjerit. Tak ada yang mampu dia perbuat. Dia hanya mampu merunduk, mencoba menyembunyikan air matanya yang mengalir tipis dari kedua matanya yang sudah memerah. Awan masih gelap. Mendung masih menguasai jagat. Semuanya hening dalam duka yang mendalam. Ditya mencoba tegar dengan semua garis kehidupan yang diberikan Ilahi untuknya. Meski hubungan mereka belum lama, namun rasa pedih dan kehilangan itu begitu menusuk. Gadis manisnya itu telah tiada. Kehidupan yang dirangkainya kini telas sirna. Bersama dengan sang pujaan.

***

Bulan sabit masih setia menemani Ditya. Bintang pun masih menaburkan jutaan sinarnya untuk alam ini. Namun, Ditya tak merasakan hal ini. Dia rindu. Sangat rindu. Tak ada yang dia rasakan saat ini. Tak ada yang dia inginkan saat ini, kecuali ingin bertemu dia. Sang pujaan hati yang selamanya tak akan mampu untuk diwujudkan dalam ruang dan bentuk apapun. Horizon timur masih menjadi tempat setia untuk sang bulat sabit. Dia teringat senyum indah sang gadis. Benar-benar indah.

Air mata Ditya tak terasa sudah mengaliri kedua pipinya. Entah air mata kerinduan atau air mata kesedihan. Namun, dia hanya mampu berharap semoga ini adalah jalan terbaik untuknya. Ini adalah garis takdir yang sangat indah yang Allah ciptakan untuknya. Meski, tak akan ada lagi sang gadis berkerudung itu. Tiada lagi senyum indah itu dirinya. Sudah tak ada. Zeli. Aku sangat merindukanmu.

Debur ombak membentur karang. Luas samudra membentang. Langit biru yang tetap setia untukku. Embun pagi yang begitu menyejukkan dadaku. Itu semua tak akan mampu menghapus memori ingatanku tentangmu. Di laut lepas ku coba mengatur nafas walau badai menghempasku. Di pagi berembun ku coba menghirup kesejukan meski dingin menusukku. Aku tak akan pernah terlepas dari rasa yang sekian lama semakin membesar dalam bingkai imajiku. Meski kau jauh bagai sebutir bintang yang tak mungkin dapat kuraih dengan jemariku, namun kamu tetap bersinar menyinari setiap sudut alam termasuk hati sang pendambamu. Bersamanya. Bulan sabit di horizon timur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline