Empat kosong, kemenangan bagi Jerman. Maradona menangis. Argentina pun berduka. Ini sejarah yg selalu berulang. Tentang kekalahan orang-orang yg seharusnya menang. Atau paling tidak begitu yakin dengan dirinya. Lalu kalah dan terhempas. Pedih.
Sepak bola lebih dari sekedar permainan. Di dalamnya ada kesantunan. Ada ucapan dan tingkah laku. Moralitas, kata Imanuel Khan. Gulungan yang membelenggu manusia. Agar dia benar, diterima dan layak. Sebuah kepatutan. “Tuhan telah menulis kemenangan Argentina” Kata Marodona yakin, sehari sebelum tanggal 3 juni dua ribu empat. Lalu gemuruh membahana di Green Point stadium, Afrika selatan. Jerman pun bersorak. Ini bukan tentang kemenangan Argentina. Sebab hari itu Tuhan ternyata menulis, “selamat untuk anda orang Jerman”. Anda menang!
Moralitas telah terhempas. Manusia bebas berkata apa saja. Sebab Tuhan telah tak perfungsi apa-apa. Tuhan telah diistirahat oleh mereka yg lahir setelah babad Eropa gelap. Sebuah deisme radikal. Moral lalu tumbuh menyendiri pada sejarah yg profan. Manusia memang hebat. Mampu mengubah sejarah. Dengan kata-kata dengan tangan dan kaki. Selamat datang abad modern; sepak bola telah menidurkan Tuhan. Bola lalu seperti tuhan. Diagungkan melebihi sang agung. Karenanya ada yg membakar. Ada yg membunuh. Ada yg takabbur. Manusia modern memang hebat tapi tetap saja Marodona bukanlah tuhan. Dan sepak bola memiliki takdirnya sendiri. Silahkan Pulang ke negara anda! kata Tuhan malam itu “Takdir anda kalah”. dan Argentina kalah.
Sepak bola dibincang dengan berbagai hal. Dari bakat, teknik, rencana hingga nasionalisme dan agama. Ini tentang persepsi yg berbeda. Bukan teori para pelatih dan analisa tematis para pengamat. Bukan juga tentang determinisme kausalitas pemain dan lapangan hijau. Bukan juga tentang mistik yg dibawa dari kampung masuk ke kota. Tapi Karena Gol tangan tuhan 22 Juni, 1986 di Estadio Azteca, Mexico City. Peristiwa yg melahirkan metafora kata. Tuhan telah menciptakan gol. Sebuah ungkapan berujung debat. Debat teologis.
Betulkah Tuhan telah menciptakan gol. Maradona lalu terkenal. Sepuluh tahun kemudian Maradona dijadikan “tuhan” oleh sekelompok manusia di Benua Latin. Sejarahpun berulang. Perihal kesombongan manusia sejak era Firaun. Memang manusia selalu menciptakan Tuhannya sendiri. Tuhan ego, seperti keyakinan Freud mencoba mencibir Tuhan asli. Masyarakat bergerak liberal. Namun sejarah tetap saja ditarik dari benang geneologinya. Barat wewariskan dua hal. Gerak masyarakat ala Marxian yang diterima sebagai barang sangat bernilai di negara-negara Amerika latin dan logisme tunggal kapitalisme yang telah mapan di negara Eropa. Keduanya saling mengejek tapi sama-sama menerima kesemestian semesta tanpa transendensi ontologis.
Dari luar lapangan paradigma-paradigma ini lalu memproduksi sepak bola. Perhelatanpun dibentuk semarak. Jutaan milliar dollar dianggarkan. Setara 1,76 miliar poundsterling atau sekitar Rp23,7 triliun rupiah. Sepak bola telah menjelma menjadi raksasa mesin materi. Menghasilkan pemain dan pelatih yg digaji mahal. Melebihi gaji presiden di sebuah negara. Melebihi gaji seorang pekerja keras, sekeras apapun. Distribusi penghasilan mengalami kesenjangan yg luar biasa. Cita sosialisme menjadi hampa. Sama rata sama rasa tak pernah betul-betul tercapai. Yang kaya yg pandai bermain bola. Sebuah produksi dan distribusi yang bermasalah. Mungkin.
Piala dunia Afrika selatan adalah sebuah jelaga. Determinesme dan produksi. Dari vuvuzula hingga jabulani. Dari nasionalisme hingga issu rasisme. Dari eksotisme hingga erotisme. Dan lain2......
Inilah ilustrasi karena tragedi sabtu malam. Argentina yg semula dipuja lalu dimaki. Argentina yang berbakat tanpa rencana. Belajarlah Maradona! Bahwa kata tak cukup. Belajarlah Maradona! JANGKO BARRO SEKALI. sedihku liatki Messi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H