Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Harus Salahkan Presiden

Diperbarui: 22 November 2015   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: reportasekampus.com"][Sumber gambar: reportasekampus.com]

Tujuh puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Selama itu telah terjadi pergantian presiden sebanyak 7 kali. Banyak prestasi yang telah ditorehkan masing-masing presiden, namun tak sedikit juga yang menuai cacian serta makian. Masing-masing melaksanakan visi dan misi yang berbeda, namun tetap dengan tujuan mempertahankan NKRI. Perubahan di beberapa sektor memang tidak terlalu signifikan, tapi cukup membawa perkembangan.

Membahas masalah negara, memang tak pernah ada habisnya. Ada banyak hal yang perlu dibahas, didiskusikan bahkan diperdebatkan. Mudahnya akses komunikasi dengan berbagai media, menyebabkan berita tersebar begitu cepatnya ke telinga masyarakat. Sehingga tak perlu ada yang disembunyikan. Setiap pribadi dapat mengoceh dengan bebas, karena menganggap era reformasi yang bebas bicara mengungkapkan perasaan. Reformasi yang salah kaprah memang. Mempermalukan, menyudutkan, saling menyalahkan menjadi tontotan biasa ibarat cemilan yang selalu tersedia. Sempat saya bertanya pada diri sendiri, haruskah sampai segitunya reformasi di artikan? Apakah ini yang dikatakan demokrasi?

Apa jadinya negeri ini jika pemimpin saja dipermalukan oleh rakyatnya sendiri? Bagaimana bangsa lain akan menghargai kita, jika kita saja tidak menghargai pemimpin? Inikah arti dari sila ketiga "Persatuan Indonesia"?. Dimana bukti kalau kita memaknai Pancasila itu sendiri. Jika setiap hari kita memperlihatkan pada dunia bahwa kita bangsa yang tidak kompak. Mudah diadu domba bahkan terpecah belah. Paham kepentingan menjadi kudapan yang tak terelakkan. Kepentingan pribadi dan golongan menyebabkan hilangnya kepentingan bersama. Tidak ada yang saling mendukung kebijakan. Hanya saling menjatuhkan. Lalu salahkah jika kita dijajah oleh bangsa lain? Inilah kesempatan mereka, mencari kesempatan dalam kegaduhan. Memancing di air keruh. Kita merasa menang dan diperhatikan, tapi mereka tertawa cekikikan di atas penderitaan kita. Mendapatkan keuntungan serta tontonan gratis. 

Tak jarang kita menemukan cacian terhadap presiden di media sosial, yang tentunya dengan sangat mudah ditemukan. Kita seolah-olah merasa gagal memilih presiden. Menyalahkan masa jabatan yang tidak memberikan hasil apa-apa. Tapi pernahkah kita berfikir, bahwa masa jabatan satu tahun tidaklah mungkin dapat melakukan perubahan besar untuk Indonesia yang terdiri dari 34 Provinsi dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa. Belum lagi harus menyelesaikan PR dari presiden sebelumnya.

Anehnya negeri ini, begitu mudah melimpahkan kesalahan hanya pada satu orang. Meski mungkin memang orang tersebut yang memegang jabatan. Tapi setidaknya kita berfikir rasional, mana mungkin satu orang bertanggung jawab penuh pada jutaan hidup rakyat, tanpa dukungan dari berbagai pihak. Ironinya itulah yang terjadi di Indonesia. 

Sampah yang mengotori kota, menggunung di tempat sampah atau sungai, dianggap menjadi tanggung jawab presiden. Presiden dianggap tidak cekatan dalam masalah penanganan. Tapi jika ditelik lebih dalam, yang membuang sampah adalah masyarakat. Setiap hari menabung sampah berton-ton tanpa berfikir kemana alur sampah, bahkan membuangnya ke sungai. Musim hujan melanda, banjirpun menghadang. Yang salah juga presiden karena tak mampu mengatur kali. Masalah asap melanda negeri, yang salah juga presiden, dianggap penanganan kurang cepat. Bencana alam yang lain juga disalahkan presiden, karena kurang tanggap. Kemiskinan, pengangguran, pembunuhan, korupsi, bahkan masalah peradilan presiden juga yang harus mempertanggung jawabkan. Pernahkah kita bertanya, dimana peran politik?

Tidak bisa dipungkiri, jabatan sebagai seorang presiden adalah jabatan yang paling beresiko. Tapi setidaknya kita harus sadar, bahwa semuanya tidak terlepas dari peran politik. Rambut boleh sama hitam, tapi isi otak tetap berbeda. Itulah yang harus kita tekankan. Percuma pemerintah mengambil kebijakan yang bagus sekalipun, jika tidak mendapat dukungan penuh dari semua pihak. Bahkan karena pengaruh politik, kebijakan tersebut sengaja ditampakkan samar. Sehingga kebijakan tidak terlaksana sesuai rencana. Seperti ekor tikus, makin ke ujung makin kecil. Itulah pelaksanaan kebijakan di negara kita. Semakin jauh dari jangkauan presiden, makin longgar pelaksanaan. Artinya kita bekerja bukan karena komitmen tapi karena siapa atasan kita.

Menjadi presiden artinya memimpin satu negara, berjuta jiwa dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Kita analogikan saja, seorang kepala rumah tangga yang memiiki tiga orang anak dan seorang istri. Setiap hari harus berusaha memenuhi tuntutan anak yang berbeda dengan sifat serta karakter yang berbeda. Kadang tak mampu memenuhi semuanya. Itu baru di rumah tangga yang jumlah anggotanya 5 orang. Bagaimana kita membayangkan satu negara yang terdiri atas jutaan orang? Terlahir dari rahim yang berbeda dan dengan kepentingan yang berbeda pula. Belum lagi didukung oleh sifat manusiawi yang lebih mendominasi.

Alangkah bijaknya, jika kita mulai memperbaiki segala sesuatunya dari diri sendiri.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline