Lihat ke Halaman Asli

Laskar Hidzib

Hanya Orang Biasa. Panggil Saja Manusia Tanpa Nama

Aktivis Setengah Hati, Membaca Kembali Arah Perjuangan HMI

Diperbarui: 5 Februari 2019   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tak ada yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran," kata Soe Hok Gie.

Adalah benar bahwa kebenaran senantiasa harus menjadi prioritas utama dalam perjuangan hidup tiap manusia. Sebagaimana pernah diungkap Soe Hok Gie, meski pada akhirnya ia sendiri pesimis dengan memandang kebenaran itu hanya ada di langit dan di bumi hanyalah palsu. Pesimisme yang coba Soe Hok Gie bangun tidaklah berarti bahwa Gie pesimis pada hidup dan perjuangan. Ungkapan di atas justru mempertegas bahwa kebenaran harus manusia perjuangkan. Terutama bagi yang terpelajar, ini bukan berarti kita harus tertidur lelap, menjadi aktivis setengah hati, tanpa berusaha mendobrak mitos-mitos konyol yang demikian.

Hal paling menarik yang melekat pada diri manusia adalah mampu mengukir sejarah, mengukir dengan sebebas-bebasnya. Sehingga bicara soal sejarah (sejarah Indonesia), kita akan berjumpa dengan sejarah pemuda. Sebab, dalam dinamika perjalanannya, pemuda selalu terlibat-serta, baik sebagai pelopor atau pun sekadar simpatisan semata. Benar, secara historis, dinamika sejarah Indonesia dari masa ke masa selalu dimotori oleh pemuda. Sejarah lahirnya Sumpah Pemuda 1928 yang diprakarsai oleh Budi Utomo. Terlihat membawa-serta semangat persatuan Nusantara, keberagamaan suku dan bahasa, hingga bersatu dan bersumpah dalam bingkai Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.

Setelah Bangsa Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, tampaknya penjajahan tak kunjung usai. Bahkan semakin menggeliat kepermukaan. Selain harus berperang melawan penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia juga dipaksa untuk menahan gempuran dari pemberontakan PKI. akhirnya, diberbagai daerah muncul oraganisasi masyarakat dan kepemudaan yang memiliki cita-cita untuk menjaga kemerdekaan dan keutuhan negara Indonesia. Salah satunya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul awal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 atas prakarsa Lafran Pane dan 14 orang mahasiswa sekolah tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia (UII). Akhirnya pada hari Rabu Pon 1878 (tahun jepang), tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan pada tanggal 5 Februari 1947 M secara resmi didirikan dan dideklarasikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) oleh Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, yaitu :Karnoto Zarkasy, Dahlan Husein, Siti Zainah (isteri Dahlan Husein), Maisaroh Hilal (cucunya KH. Ahmad Dahlan), Soewali, Yusdi Gozali (pendiri PII), M. Anwar. Hasan Basri, Marwan, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, Zulkarnaen dan Mansyur.

Tanggung Jawab HMI

Belajar dari sejarah mahasiswa, kader HMI juga memiliki tiga tanggung jawab; meliputi agent of change, agent of social control, dan sebagai kaum intelektual. Sebagai agen perubahan, label ini melekat pada setiap kader HMI. Sebab, secara historis, ide dan gagasan pembaharu selalu dibawa oleh kader HMI. Kader HMI dianggap sebagai generasi yang memiliki semangat dan jiwa-jiwa yang progresif. Sebut saja Nurcholis Majid, AM Fatwa, Amien Rais, Anies Baswedan, dan lain-lain.

Sebagai pengontrol kehidupan sosial, sangatlah jelas bahwa sebagai bagian dari masyarakat, tentu peran kader HMI sangat diharapkan. Setidaknya, kader HMI harus mampu memberi solusi atas beragam persoalan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Semua persoalan harus mampu diretas. Baik yang disebabkan oleh faktor internal, terlebih datangnya dari kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada masyarakat. Padahal masyarakat notabene sebagai pemegang kedaulatan negara dalam konsep demokrasi.

Terakhir, sebagai kaum intelektual, kader HMI tidak hanya menguasai bidang studi yang sedang ditempuhnya. Tetapi, dengan aktivitas rutin, seperti membaca dan diskusi, kader HMI juga perlu memahami cabang ilmu lainnya. Logika sederhana pun mengharuskan hal tersebut. Demi mengkritisi segala bentuk problematika dalam bernegara. Hal ini yang kemudian meniscayakan bahwa kader HMI butuh piranti ilmu pengetahuan yang mumpuni lagi komprehensif.

Re-Injeksi Gerakan HMI

Tidak bermaksud untuk merendahkan kader HMI, apalagi untuk menyombongkan diri. Memasuki usia ke-72 tahun, HMI tidak lagi memiliki taringnya sebagai singa gerakan mahasiswa di Indonesia. HMI (kini) tak ubahnya seperti singa ompong yang dipelihara dalam kandang. Kader HMI sekarang sudah kehilangan nilai kehanifannya, bahkan banyak diantaranya yang menggadaikan kemerdekaan dan independensinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline