[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Sumber : Kompas.com"][/caption]
Pasar bebas Asia Tenggara tinggal setahun lagi.Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) Dicanangkan sejak tahun 1992 di Singapura. 22 tahun berlalu, Indonesia masih jalan ditempat dan berkutat pada masalah yang sama. Petani susut, lahan berkurang berubah fungsi, dan sesak nafas terhimpit fluktuasi harga pupuk. Nelayan ganti haluan, tercekik harga solar, alat tangkap ketinggalan jaman, dan aib sekaligus ironis, tangkapan makin sedikit karena pencurian dari nelayan negara tetangga dan kerusakan ekosistem oleh tangan-tangan jahat.
Tak ada cerita kebanggaan menjadi nelayan dan petani di negeri bahari dan agraria ini. Tak ada yang bermimpi menekuni dua pekerjaan yang hasilnya (beras dan ikan) memenuhi kebutuhan hidup hampir 240 juta rakyat indonesia. Simbol ketahanan pangan yang terabaikan. Bagaimana dengan ketahan energi? Batubara, minyak, gas alam, dan batubara dikeruk habis-habis.Diekspor mentah-mentah tanpa nilai tambah.
Negara tetangga serumpun jiran, seperti, Malaysia, dan Brunei, memagari pengelolaan kekayaan alamnya dengan baik. Thailand bersama Singapura sudah lama menjadi negara yang ekonominya paling stabil di Asia Tenggara. Vietnam dulu jauh tertinggal, terus berlari, sekarang menyalip. Lihatlah gelontoran beras dari Vietnam Rose itu.
Pada dasarnya, AFTA mengenai hubungan regional-dalam konteks politik-ekonomi. Utamanya, keterbukaan pasar dalam sistem perdagangan bebas sesama negara ASEAN dengan hilangnya bea masuk. Kedepannya, perekonomian akan diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah atau state hanya berfungsi sebagai pengontrol dan pengawas saja.
Belum dimulai, Indonesia sudah klenger dengan serbuan produk dan jasa dari luar negeri. Pasar tekstil Indonesia, misal Pasar Tanah Abang, dibanjiri barang dari negeri diluar ASEAN, seperti China dan India. Petani lokal babak bebur tak kuasa menandingi harga beras, buah-buahan, gula, dan bawang impor yang jauh lebih murah. Saat negara sekawasan mengirim duta tenaga terampilnya, Indonesia mengekspor ratusan ribu buruh kasar ke negara tetangga. Disini kita sudah kalah nilai jual.
Perdagangan bebas hanya pasarnya saja alias hasil dari proses sebelumnya. Pertempuran awal dan saatnya nanti AFTA itu dibuka ada pada kekuatan SDM dan produk unggulan yang dijual. Otaknya tentu ada di SDM. Sederhana saja, pengelolaan pendidikan yang bermutu, rata dari pusat hingga daerah, serta terjangkau oleh rakyatnya-bahkan gratis.
Pada tahun 1970-an, Malaysia mengirim mahasiswanya untuk belajar di Indonesia. Sekarang kebalikannya, dan memang orang Indonesia sudah memandang sekolah di luar negeri lebih unggul dan prestise. Urusan Ujian Nasional saja, berubah-ubahdan selalu bermasalah. Kekalahan lainnya, kecakapan anak bangsa lain dalam menguasai bahasa internasional-bahasa inggris.
Sosial-budaya pun tak dilestarikan dengan baik. Misalnya, sudah banyak bahasa daerah atau ibu yang punah. Beda dengan negara lain, yang memfasihkan bahasa inggris tetapi tetap mempertahankan kemampuan bahasa lokal. Kesenian, seperti tari-tarian dan lagu daerah baru melek setelah Malaysia mengklaim Rasa Sayange dan Tari Pendet. Padahal kebudayaan menjadi daya tarik mendatang wisata mancanegara yang bisa menjaring dollar ke dalam negeri.
Hambatan Dalam dan Luar Negeri
Sepakat membuka keran perdagangan bebas, negara ASEAN harus menyelaraskan produk hukumnya. Selama ini rumpun jiran; Singapura, Malaysia, Brunei berkiblat pada anglosaxon. Indonesia dan Thailand berakar pada kontinental, sedangkan Philipina sepalu dengan sang penjajah, Amerika. Berbeda mahzab tentu tak mudah menyamakannya. Salah satu jalan keluar, pertukaran informasi mengenai produk hukum yang dibuat agar tak ada miskomunikasi pada pengurusan izin dan bisnis.
Pertempuran sengit akan bergumul pada tarik-menarik modal dari investor. Daya pikat diluar iklim ekonomi dan politik yang stabil-datang dari kemudahan dalam pengurusan izin tanpa melabrak aturan. Muara masalah, pengurusan izin di Indonesia jelimet. Izin-sama halnya melintasi jalan berlubang dengan melobi bermeja-meja birokrasi plus “pelicin”. Aspal jalan pun berlubang-lubang yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan arus investasi ke daerah.
Pengurusan izin usaha baru di Indonesia bukan soal uang saja melainkan waktu juga. Di Singapura hanya butuh 8 hari, bandingkan dengan Indonesia yang 20 kali lipatnya atau sekitar 151 hari. Ini berimplikasi pada bengkaknya biaya transaksi. Belum lagi otonomi daerah yang menimbulkan tumpang tindih peraturan dan biaya semakin menenggelamkan mood investor.Ujungnya, arus modal tak mendarat di Bumi Pertiwi.
22 tahun sudah. Sebuah waktu yang cukup untuk mendidik putra-putri bangsa mulai dari bayi merah hingga tamat sarjana. Faktanya, postur angkatan kerja Indonesia mengalami ironi bahkan musibah dari segi pendidikan karena didominasi lulusan sekolah dasar. Berdasarkan data Badan Pusat Statisitik (BPS) tahun 2013, Indonesia memiliki 121 juta angkatan kerja ; 7,17 tak terserap dunia kerja-ironinya 400 ribunya lulusan sarjana, 54,6 juta lulusan sekolah dasar, sekolah menengah pertama 20,3 juta, sekolah menengah atas 17,8 juta, Sekolah menengah kejuruan 10,2 juta, diploma 3,2 juta, dan perguruan tinggi 7,9 juta.
AFTA belum dimulai, neraca perdagangan Indonesia terus defisit. Awal tahun ini BPS mengumumkan sampai akhir desember tahun lalu defisitnya senilai US$4Miliar. Dari situ terlihat bahwa Indonesia lebih konsumtif. Konyolnya, untuk produk yang bisa dipenuhi dari dalam negeri masih juga keran impornya dibuka pemerintah. Di sisi lain, ekspor mengalami hambatan mulai dari melemahnya ekonomi dunia, ada aturan yang tak bisa dipenuhi produk kita di negara tujuan, negara yang dituju itu-itu saja, tak ada nilai tambah dari produk hingga birokrasi negeri sendiri yang menyusahkan.
Tak ada yang kurang dengan Republik ini. Tanah subur, laut luas,didalamnya terkubur pula kekayaan alam yang melimpah. Ikan-ikan hidup bercumbu dengan terumbu karang nan indah. Sebuah nilai jual untuk objek wisata bawah laut. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, sebuah syair dari Koes Plus yang menggambarkan betapa suburnya tanah negeri ini.
Selama ini semua terpusat di Pulau Jawa, bahkan mungkin Jakarta adalah segalanya. Di pusat sudah semraut, enggan pula menjamah daerah. Dibiarkan tertinggal, padahal kekayaan alam adanya di daerah. Jalan di luar Jawa banyak yang rusak bahkan masih tanah. Listrik sebagai penggerak industri byarpet. Anak-anak di daerah telanjang kaki mencari sekolah. Sehingga mereka menjadi penonton pengerukan kekayaan alam atau hanya jadi kuli karena keterbatasan pendidikannya.
Benteng yang baik adalah membentuk sistem/menyediakan lapangan pekerjaan mulai dari mengolah bahan baku atau mentah hingga barang jadi. Sehingga akan menyedot angkatan kerja yang banyak. Serta, membuat tenaga asing sulit masuk karena semua pekerjaan diisi oleh orang Indonesia. Keuntungannya, uang akan berputar di dalam negeri. Untuk produk, saat di-launching menjadi easy marketing di pasar internasional dan tentu punya nilai jual tinggi.
Waktu tinggal sedikit. Perbaikan harus diprioritaskan pada produktifitas menghasilkan pangan dan energi. Mengingat bentuk negara kepulauan maka konetivitas harus dibuka dengan pembangunan jalan yang mulus, pelabuhan, dan bandara. Ekstra usaha menggenjot anak-anak usia sekolah dan perguruan tinggi agar memiliki kemampuan mumpuni menghadapi AFTA. Untuk yang terakhir mungkin agak terlambat, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali berusaha memperbaiki kesalahan.
[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Sumber : Kompas.com"] [/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H