Lihat ke Halaman Asli

Lorong Doa - Saiful Anam Assyaibani

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja mengelam di ujung laut. Matahari berada pada batas air dan langit, seperti hari mulai redup langit pun redup dengan segurat bianglala. Semacam lambaian sayup-sayup sebuah surau dengan panggilan syair dan takbir melesatkanku pada jejak menuju Tuhan.

Di sudut Kampung para Nelayan itu; sebuah mushollah sederhana bersebelahan dengan laut serasa begitu tenang dalam dada. Suatu kecintaan yang selalu mengalir sepanjang ujung sepanjang perjalanan.

Selepas mushollah aku kembali kepada laut; menyusuri jejak dan langkah pada pasir putih, seperti perahu-perahu tertambat akan dermaga aku pun tertambat akan keindahan alam mahaindah, konon Khidir pernah mengujar hakikat rahasia kehidupan akan Musa lantas semayam di luas segala samudra itu. Dan siapa ingin beroleh berkah laduni maka harus ajeg dalam sholawat dan salam, wasila dan doa yang selalu lapar untuk dipanjatkan.

Hari beranjak kelam-malam yang menggetarkan-gelap yang selalu magis akan gulir waktu. Masih ada kehidupan di penghujung malam.

Tanpa sadar aku mengenggam butiran pasir lantas kutaburkan pada perjamuan angin dengan mata tertutup.

***

Rumah itu menghadap ke arah laut. Sepi sekali, hanya beberapa kawanan anjing tampak berseliweran di halaman rumah itu. Mataku menangkapnya lamat-lamat dari jarak yang tak begitu jauh. Selintas kemudian seorang perempuan keluar dari rumah itu dengan selembar daun berjejar menampung makanan bagi anjing-anjing yang lapar.

Sepertinya hal itu sudah menjadi kebiasaannya, terlihat dari beberapa anjing yang lantas mengikuti langkah perlahan perempuan itu di belakangnya. ‘persahabatan yang tak lazim’. Gumamku. Tapi bagaimana mungkin aku tidak terusik akan romansa yang tak biasa aku menemukannya. Mataku tak pernah lepas menangkap setiap desir peristiwa yang bermain-main dalam akal dan anganku, aku coba mendekati mereka bahkan sangat dekat, mencoba mencari jawab dalam celah-celah sepi.

“Selamat malam” aku menyapanya seringan angin meniup malam yang menjadikan dingin. Sepertinya perempuan itu hanya menemukan aku dalam desing suara saja, Dia terlihat lebih menikmati memberi makan seekor anjing dengan menaruh makanan di tangannya yang indah daripada memuliakan seorang tamu.

“Assalamu’alaikum” aku coba mengulang sapaku, tapi sedikit pun perempuan itu seolah tak merasakan kehadiranku.

“Maaf, aku datang sebagai anjing yang berpijak dikegelapan purn a, dan aku mencari jejakku di bulan pada hijrah pada tubir mi’raj berharap menemu surga di dadamu” Tiba-tiba anjing-anjing itu melesat begitu saja, menuju goa karang yang terkikis ombak; tempat mereka mengistirahkan jiwanya pada malam. Dadaku berdegup kencang tapi tak kumengerti adanya.

“Biarkan hanya sunyi dalam keheningan jiwaku, seperti denting doa tak kumengerti, sunyilah menandaskan detik air mata di tetes waktu” perempuan itu menundukkan pandangannya dariku lantas meneteskan airmata dalam kasidah doa. Entahlah peristiwa apa yang sedang terjadi di hadapanku ini, aku tidak berani menebaknya. “Sekali pun aku tak pernah menerima tamu laki-laki malam hari, pulanglah kembalilah besok pagi!”

“Maaf, aku tidak mengerti maksud anda”

“Aku pelacur”

“Apa?!”

“Ya, akulah pelacur yang merindu surga”

Aku diam sesaat, mencoba menguasai badai dalam dada. Aku tidak pernah menyangka bahwa perempuan yang ada di hadapanku sekarang adalah perempuan sinting yang beberapa tahun lalu diasingkan oleh warga “Kampung Nelayan” karena ketidakwarasannya. Seperti yang sering dibicarakan banyak warga ‘dia perempuan sinting yang ingin masuk surga dengan jalan pintas dengan berteman anjing dan selalu berharap menjadi seorang pelacur’. Ah, aku semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya ada dalam benak perempuan itu; jika memang opini warga itu benar adanya. Bukankah anjing dan pelacur adalah sama-sama mahluk najis, lantas jalan pintas mana yang akan membawanya menuju surga. Atau memang benar adanya bahwa perempuan ini memang sinting. Tapi?.

“Apa yang merubahmu serta merta menjadi beku?” sentak perempuan itu melumerkan anganku.

“Entahlah!” jawabku.

“Selain kedatanganmu malam ini sama sekali tidak aku harapkan, tanpa kamu sadari kamu telah mengganjal langkahmu sendiri untuk menuju surga”

“Maaf aku tidak mengerti. Tapi apa yang telah aku lakukan hingga aku harus tertatih menuju surga? Sementara kamu sendiri hanya berteman anjing dan aku hendak bersilaturrahiim padamu, apa aku salah”.

“Tidakkah kamu pernah mendengar, barang siapa yang memutus harapan orang yang datang kepadamu maka Allah akan memutus harapannya pada hari kiamat dan tidak akan masuk surga. Benar apa yang kamu ucapkan bahwa aku sedari tadi hanya berteman anjing. Ya, anjing-anjing itulah yang datang ke gubuk ini setiap malam dan berharap akulah satu-satunya orang yang mau menyediakan makan bagi mereka, dan engkau tiba-tiba datang lantas memutus harapan anjing-anjing yang kelaparan itu di hadapanku”.

“Tapi dia hanya seekor anjing” sergahku

“Meskipun dia hanya seekor anjing. Bukankah Allah tidak menciptakan suatu makhluk dengan sia-sia”

“Baiklah jika anjing adalah jalanmu menuju surga, sungguh aku mintak maaf”

“Maaf untuk apa”

“Untuk diri sendiri yang datang tanpa rupa dan bentuk, maaf untuk diri sendiri yang datang tanpa jelma tanpa cahaya dalam ketakberjasadanmu; juga anjing yang meleburkanmu dalam tafsir hijabku, juga maaf untuk keterjebakanku yang nian absurd menamaimu”

“Sampaikan maaf itu pada lapis langit, jelmakan rintik hujan yang melebur segala kata yang membingkis risalah kalbu, biar segala keheningan mengantarmu-mengantarku akan surga”.

Perempuan itu lantas masuk ke dalam rumahnya. Ah, mungkin rumah itu lebih pantas disebut gubuk karena memang tidak pantas disebut rumah. Dan aku kembali menepi pada pantai.

Malam selaksa jauh mengantarku akan suatu yang tak pernah terduga sebelumnya. Embun serasa menyusup pada sunyi secara pelahan, daun-daun menampung angin yang semakin risuk meluruhkan waktu.

Waktu seakan demikian singkat, aku tak tidur sedetik pun malam ini, tak terasa hari telah berganti sementara aku masih terpaku berdiri di tepi laut sebagimana hari-hari kemarin, tapi hari ini serasa lain. Aku selalu berpikir tentang apa yang aku alami malam ini, tentang kawanan anjing dan perempuan yang mengaku pelacur itu, juga pertemuanku yang secara tiba-tiba dengan mereka dan aku menamaiku sebagai anjing.

Dari kejauhan diam-diam aku selalu pandangi gubuk itu. Ya, gubuk seorang perempuan yang saat ini masih bermain-main dalam realitas kesadaranku.

***

Hampir setiap fajar akuberdiri di tepi pantai menghadap ke arah timur menyongsong matahari terbit, menyongsong keindahan yang menggetarkan batin. Aku kembali membuka hari dalam Bismillah dalam mata yang sejenak terpejamkan akan taqdir perjalanan hari-hariku.

Fajar ini dalam sujud panjangku, aku seolah menandaskan keyakinanku bahwa orang-orang yang berjiwa muthma’innah-lah yang akan mendapat kemuliaan. Tapi sejak malam saat aku bertemu dengan perempuan yang mengaku pelacur itu, seolah Ia talah mencuri sebagian ketenanganku dan mungkin aku tidak akan pernah merasa tenang jika tak mengambilnya kembali dari jiwa perempuan itu.

Matahari sepenggalah, burung-burung kembali mengitari laut dan juga para nelayan mulai memaknai hari diteriknya cahaya matahari di tengah derasnya gelombang. Ah, aku kembali teringat ucapan perempuan itu Sekalipun aku tak pernah menerima tamu laki-laki malam hari, pulanglah kembalilah besok pagi!’. Demi waktu aku pun telah bersumpah akan menemukan kembali ketenangan hidupku seperti sebelum aku bertemu dengan perempuan itu.

***

Aku kembali menatap lekat rumah yang selalu sepi itu, berharap dapat menemukan kembali perempuan semalam. Aku menunggu hingga fajar menjelang, tapi nihil.

Tujuh atau mungkin delapan ekor anjing tiba-tiba menjelma di hadapanku, matanya nyalang seakan berharap sesuatu padaku namun sulit untuk aku terjemahkan. Dalam hati aku berkata sendiri ‘andai akulah orang yang diharapkan kawanan anjing itu maka apa pun yang tergurat dalam benaknya aku akan berusaha mewujudkannya; semata-mata untuk tidak memutus harapan akan keberadaannya di hadapaku saat ini’.

Tiba-tiba kawanan anjing itu lenyap ke dasar jiwaku bersamaan dengan kilatan cahaya yang kemilaunya menghentak tak terhingga. Tubuhku bergetar hebat menerimanya hingga aku tak sadarkan diri akan siapa aku yang sesungguhnya. Seakan-akan aku telah lenyap entah kemana dan aku seolah bukanlah aku yang sesungguhnya dan keinginan untuk mencari perempuan itu semakin kuat bak gelombang laut tak terbendung.

Aku mencari perempuan itu di segala penjuru mata angin dan tak tahu jua adanya, sampai batas akhirnya aku terhenti di selembar daun kering bekas tadah makananan anjing tempat perempuan itu memberi harapan bagi anjing-anjing yang kelaparan. Aku menjilatinya dalam munajah dalam cinta yang luar biasa nikmatnya sampai-sampai aku ekstase.“duh, Tuhan dimana pelacur yang memberi ketenangan pada anjing-anjing yang kelaparan”.

***

Aku kembali ke tepi pantai menyaksikan ribuan burung mengitari lautan mahaluas, angin mengantar gulungan ombak menerpa kakiku; aku basah jiwa raga, kudesiskan kesangsianku pada angin yang membawa bianglala yang mulai menggambar langit. Aku berdiri terpanah menangkap matahari tenggelam dan aku pun tenggelam dalam bongkahan karang yang terkikis ombak dalam tafakur, tunduk dan sujud.

Dalam sujud panjangku; seorang lelaki tak ku kenal dalam tubuh penuh cahaya berujar salam lantas menuntun langkahku.

“Aku akan mengajakmu dalam perjalanan panjang”

“Kemana?”

“Menuju doamu, menuju kesempurnaan iman. Bukankah itu yang selalu kau panjatkan, ketika engkau berdiri di tepi laut saat matahari mulai tenggelam?”

“Apakah Kau…?”

“Jangan bertanya apa-apa padaku. Karena aku hanya ingin menyampaikan beberapa hal padamu; jangan biarkan hatimu larut dalam kesedihan dan menyesali atas sesuatu kegagalan, jangan putus asa dalam menghadapi kesulitan, perbanyaklah berdzikir dan berdoa, jangan ada rasa takut kecuali hanya kepada Allah bersatulah karena Allah dan berpisahlah karena Allah. Jangan mempunyai musuh kecuali dengan iblis atau syetan, perbanyaklah istighfar dan menderas shalawat nabi, selalu ingat akan saat kematian sadarlah bahwa kehidupan dunia hanyalah kehidupan sementara maka maafkan orang yang berbuat salah kepadamu jangan dendam dan jangan ada keinginan membalas kejahatan dengan kejahatan, jangan membenci kepada orang yang membencimu dan jangan sombong, ringankan beban orang lain. Tolonglah mereka yang mendapatkan kesulitan, jangan melukai hati orang. Jadilah manusia yang bermanfaat bagi sesama, waspadalah akan setiap ujian, yakinlah bahwa setiap kebajikan akan melahirkan kebaikan dan setiap kejahatan akan melahirkan kerusakan. Jangan bahagia di atas penderitaan orang dan jangan kaya dengan memiskinkan orang lain, yakinlah bahwa Allah akan meminta pertangungjawaban bagi setiap hambanya di akhirat kelak tentang apa yang telah dilakukannya selama di dunia”.

***

Laki-laki itu lantas menghilang seperti nyala lilin tertiup angin, dan aku tak pernah benar-benar kembali dalam sujud panjangku. Aku telah lenyap. (*)

Lamongan, 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline