Lihat ke Halaman Asli

Penderitaan dan Kehidupan

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Mengakrabi penderitaan, kesengsaraan, rasa sakit, kesedihan, kekecewaan, tidak sama dengan memuaskan keinginan untuk mengeluh, meraung-raung, atau menjual iba. Sebaliknya, ini menjadi cara belajar menghadapi keadaan tidak nyaman, kurang menyenangkan dengan lebih mawas diri dan menghayati hal yang bisa membuat seseorang lebih bijaksana dan berhikmat.

Penderitaan kecil bisa membuat seseorang  seakan meregang nyawa agar di dengar orang lain, bahkan kalau perlu seluruh dunia. Sebaliknya mungkin banyak juga kita mendengar orang yang tetap bisa memikirkan orang lain, memilih diam dan menguatkan diri meskipun ia mengalami penderitaan hebat, bahkan yang tak terbayangkan oleh siapapun.

Dalam hal penderitaan seseorang, orang lain bahkan terkadang segan untuk mengetahuinya agar tidak harus terlibat dalam urusan yang kurang menarik bagi kepentingannya. Ini bisa jadi wajar dan manusiawi. Namun tentunya tidak semua orang tidak peduli. Sekedar mendengarkan, sekedar menanyakan kabar dengan perhatian tulus, itu bisa sedikit membantu mengurangi beban orang yang menderita. Berbahagialah mereka yang menyediakan diri dalam bentuk apapun, untuk menjadi peduli. Dalam penderitaan, ada si tabah, si tawakhal, si pengeluh, si hakim, si pencerca, si pendengar, si peduli, si penghibur atau penolong.

Seseorang yang tabah saat mengalami penderitaan akan berusaha tetap sabar dan tenang, meskipun hal ini sungguh tidak mudah dijalani. Dalam sebuah penderitaan, baik fisik ataupun mental, kesabaran dan ketenangan seseorang itu akan menjadi jalan menuju penyelesaian masalah terkait penderitaan itu. Kesabaran dan ketenangan memang perlu kemauan dan tekad yang keras.  Dalam hal ini, kedewasaan seseorang, khususnya dalam mengelola emosi akan diuji.

Menghadapi penderitaan dengan tawakhal tentu sangat tergantung dengan kedewasaan dan kekuatan iman seseorang, apapun keyakinan yang dianutnya. Sebuah keyakinan sekecil biji sesawi akan cukup menghidupkan secercah harapan dalam mendapatkan solusi penderitaan batin atau mental. Apabila itu penderitaan fisik yang berupa penyakit, keyakinan diri tentang pertolongan dari Yang Maha Kuasa Sang Pemberi kehidupan akan membuat seseorang bisa lebih pasrah diri. Ini faktor penting dari sebuah proses penyembuhan. Tentu saja keimanan seperti ini akan tercermin dari sikap yang penuh rasa syukur dalam berbagai cara, tindakan, dan ucapan orang tersebut.

Seorang pengeluh, tidak usah mengalami penderitaanpun akan senang mengeluh. Itu sebuah candu baginya. Mungkin ini juga semacam kebanggaan atau cara agar orang memberi perhatian kepada pengeluh itu. Tentu, penderitaan yang sangat berat bisa mengubah seseorang yang biasanya tabah menjadi kedengaran seperti seorang pengeluh. Wajar saja, asalkan hal ini tidak membuat orang tersebut terlarut dalam keluhan berkepanjangan. Istilah jaman sekarang, itu bisa sangat kontra-produktif. Bukannya orang tersebut mendapatkan perhatian, bantuan atau penyelesaian/kesembuhan, mungkin sebaliknya yang bersangkutan menjadi lebih terpuruk lagi. Keluhan yang berlebihan akan membuat pikiran negatif semakin berkembang. Ini sungguh menggerogoti kehidupan orang tersebut.

Dalam menyikapi orang lain yang sedang menderita, ada seseorang yang bersikap seperti hakim sekaligus pencerca. Biasanya orang seperti ini suka menyalahkan orang lain yang sedang menderita. Memberi komentar yang bukannya menentramkan hati, tapi justru menciutkan harapan si penderita. Lebih parahnya lagi terkadang ia menilai orang yang sedang menderita tersebut dengan mengatakan kepada banyak orang bahwa seseorang menderita karena kurang amal-lah, karena bodoh-lah, karena karma dan cara penghakiman lainnya.

Seseorang yang bisa memahami penderitaan orang lain meskipun dirinya sendiri berada dalam kesempurnaan hidup (bahagia, sehat, berkelimpahan) itu sungguh mengagumkan. Ada juga seseorang yang memang memiliki kepekaan berempati pada sesama karena kedalaman pengetahuan, luasnya wawasan, dan kebaikan budinya. Inilah seseorang yang cenderung menjadi pendengar yang baik, penghibur setia, sebuah pribadi yang peduli dengan sesama yang membutuhkan pertolongan.

Semua peran dalam kehidupan itu ada dinamikanya. Kehidupan seseorang akan menjadi bermakna hanya apabila dinamika itu dijalani dengan penuh rasa kesadaran untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih bijaksana, lebih berguna untuk sesama sekuat yang ia bisa. Pepatah Jawa menyebutkan “Urip neng ndonya kuwi mung kaya mampir ngombe". (baca: hidup di dunia itu sangat singkat, ibaratnya seperti orang hanya mampir minum). Saat meninggal, seseorang tidak akan bisa membawa harta, kepemilikan dan atribut dunia yang pernah ia banggakan selama hidupnya. Hanya hasil perbuatan baiknya, hasil karyanya yang berguna bagi orang lain yang akan menjadi kenangan dan manfaat bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline