(Oleh Laras Sekar)
Fenomena Pengangguran Akibat Pandemi
Kasus Covid-19 pertama di Indonesia tercatat pada 2 Maret 2020 yang lalu. Dua kasus pertama ini terjadi pada seorang ibu (61 tahun) dan anaknya (31 tahun). Mereka tertular setelah melakukan dansa dengan seorang warga Jepang. Kedua pasien tersebut awalnya tidak dirawat di ruang isolasi karena gejala yang dirasakan hanya batuk berkepanjangan. Implikasinya adalah virus ini menyebar dengan sangat cepat karena ketidaktahuan pemerintah dan tenaga medis. Virus Covid-19 menyebar dengan sangat cepat karena gejalanya serupa dengan penyakit lain, yaitu influenza. Saat tulisan ini dibuat, 20.994 orang di Indonesia meninggal akibat Covid-19.
Dampak pandemi Covid-19 dirasakan oleh berbagai sektor, seperti pendidikan, pariwisata, kesehatan, hingga ekonomi. Ekonomi menjadi salah satu sektor yang paling terdampak sehingga pada kuartal III 2020, Produk Domestik Bruto Indonesia adalah minus 3,49 persen (year on year/yoy). Oleh karena itu, Indonesia resmi memasuki jurang Resesi. Menurut Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet, dampak resesi ekonomi yang paling terasa adalah pelemahan daya beli masyarakat. Krisis ekonomi akibat Covid ini membuat kelompok yang rentan semakin terpuruk. Kelompok yang dimaksud adalah sektor usaha yang membutuhkan keramaian massa, pekerja harian lepas, pedagang kaki lima, para buruh yang terkena PHK, petani, dan masyarakat miskin (Eddyono et al., 2020).
Pandemi Covid-19 membuat pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah di Indonesia. Awalnya, PSBB hanya diterapkan di wilayah-wilayah yang memiliki status zona merah. Namun, saat ini, PSBB diterapkan di hampir seluruh wilayah di Indonesia karena cepatnya penyebaran virus Covid-19 di tengah masyarakat. Kebijakan PSBB menyebabkan perubahan berbagai aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa pada fase awal, ada sekitar 25 juta pekerjaan di dunia yang akan hilang akibat pandemi Covid-19. Kebijakan PSBB juga membuat banyak industri menjalankan skema kerja dari rumah (work from home). Lebih lanjut, menurut Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), krisis ekonomi ini bisa memunculkan zombie companies. Artinya adalah perusahaan masih bisa membayar upah pekerja, namun tidak mampu mencetak keuntungan atau break even point.
Menurut Sukirno (2008: 13) dalam penelitian Rovia Nugrahani Pramesthi (2013), pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Sementara itu, menurut BPS, pengangguran terbuka adalah mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha, mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, serta mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran bertambah menjadi 9,77 juta orang per Agustus 2020. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 212.394 pekerja dari sektor formal terkena PHK. Kelesuan ekonomi ini berdampak pada berbagai sektor. Dcode (2020) memperkirakan bahwa ada beberapa sektor yang akan "kalah" akibat pandemi dalam jangka pendek, seperti pariwisata, transportasi, dan konstruksi. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD-UI), dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Ketenagakerjaan melaksanakan survei online tentang dampak COVID- 19 terhadap tenaga kerja. Berdasarkan survei tersebut, wilayah dengan PHK tertinggi adalah Bali- Nusa Tenggara (39,9 persen) dan Banten (24,8 persen). Hal ini terjadi karena perekonomian di Bali digerakkan oleh tiga sektor utama, yaitu pariwisata, industri pengolahan, dan pertanian.
Masalah pengangguran bisa diakibatkan oleh berbagai hal. Saat ini, tingkat pengangguran juga diperparah dengan adanya PHK oleh industri yang terdampak pandemi. Industri-industri tersebut, selain melakukan PHK, juga mengurangi upah atau gaji bagi pekerjanya. Akibat kelesuan ekonomi, seseorang mungkin tidak mendapat insentif untuk menciptakan lapangan kerja yang baru. Akibatnya adalah angkatan kerja semakin susah mencari pekerjaan. Ketika pendapatan masyarakat menurun secara drastis, pertumbuhan ekonomi juga akan ikut menurun.
Inflasi
Indikator perekonomian yang sering menjadi perhatian para ekonom adalah tingkat inflasi dan pengangguran yang terjadi di suatu negara. Mereka ingin mengetahui keterkaitan antara dua indikator tersebut dalam pengaruhnya terhadap perekonomian. Secara umum, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga berbagai barang yang berlangsung terus-menerus (Sukirno, 2004). Negara dengan kondisi ekonomi yang baik biasanya mengalami inflasi sebesar 2% hingga 4% per tahun. Inflasi dinilai terlalu tinggi jika besarnya mencapai 7% hingga 10% per tahun. Kondisi tersebut pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1956 dengan tingkat inflasi sebesar 600% sebagai imbas dari ambisi Presiden Soekarno dalam mewujudkan Politik Mercusuar. Inflasi dapat diukur dengan beberapa indikator. Yang pertama adalah IHK atau Indeks Harga Konsumen. IHK menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang dibeli konsumen pada periode waktu tertentu. Yang kedua, Indeks Perdagangan Besar. Indeks ini juga dikenal dengan indeks harga produsen. Indeks Harga Produsen menunjukkan besarnya perubahan harga pada tingkat harga perdagangan besar atau harga grosir dari komoditas-komoditas yang diperdagangkan di suatu negara. Yang ketiga adalah GNP Deflator. GDP Deflator berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan tingkat kenaikan atau penurunan harga secara umum dalam suatu periode.
Kurva Phillips
Seorang ekonomi A.W. Phillips menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara inflasi dan pengangguran. Artikel berjudul "The Relationship between Unemployment and the Rate of Change of Money Wages in United Kingdom 1861-1957" ini terbit pada tahun 1958. Phillips menampikan data yang jumlah pengangguran dan tingkat inflasi pada periode waktu tertentu. Pada tahun-tahun dengan jumlah pengangguran yang rendah, tingkat inflasi justru terlihat tinggi. Sebaliknya, ketika jumlah pengangguran tinggi, tingkat inflasi pun rendah. Artinya terdapat korelasi negatif (berbanding terbalik) antara jumlah pengangguran dan tingkat inflasi. Inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Sesuai dengan teori permintaan, ketika permintaan naik, maka harga juga akan naik. Karena harga menjadi semakin tinggi (inflasi), maka produsen akan meningkatkan kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan pasar. Produsen akan menambah jumlah tenaga kerja karena hal tersebut adalah satu-satunya input yang mampu meningkatkan output. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap, maka tingkat pengangguran akan menurun.