Peran gender merupakan peran bagi laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh masyarakat, meliputi tugas, aktivitas, tanggung jawab, dsb. Menurut William-de Vries (2006) peran ini terbentuk dari berbagai nilai seperti nilai adat, pendidikan, agama, ekonomi, politik, dsb. Peran gender mempengaruhi berbagai perilaku manusia mulai dari pemilihan pekerjaan, pemilihan busana, pendidikan, dsb. Peran gender bersifat dinamis karena bisa berubah sewaktu-waktu, sesuai kondisi dan tempat, selama memungkinkan terjadi pertukaran peran gender antara laki-laki dan perempuan. Misal peran gender untuk mencari nafkah biasanya dimiliki oleh laki-laki, namun dalam beberapa kondisi perempuan juga bisa berperan sebagai pencari nafkah di luar rumah.
1. Biologis sebagai Penentu Peran Gender
Seringkali dalam masyarakat beranggapan biologislah yang secara baku menentukan peran gender seseorang, dimana peran laki-laki dan perempuan itu sudah ada sesuai dengan status secara biologis. Secara biologis, perempuan memiliki fisik yang tidak sekuat laki-laki, perempuan juga memiliki sistem limbik untuk mengatur emosi diikuti dengan keberadaan hormon estrogen yang secara biologis membuat perempuan lebih terbuka dalam mengekspresikan emosi. Maka disini perempuan akan diarahkan kepada peran untuk mengerjakan tugas domestik yang secara fisik lebih aman dibanding mengerjakan pekerjaan di luar rumah, atau jika bekerja di luar rumah perempuan seringkali bekerja pada bidang selain pekerjaan yang membutuhkan logika dan rasionalitas.
Sedangkan laki-laki yang secara biologis mempunyai tubuh yang lebih kuat dipandang cocok untuk melakukan pekerjaan di luar rumah, hormon testosteron yang menjadikan laki-laki lebih agresif, dan rasional dibanding emosional juga membuat laki-laki dianggap cocok sebagai pemimpin atau pekerjaan lain yang membutuhkan pemikiran rasional, ketegasan, atau membutuhkan fisik yang kuat.
2. Budaya sebagai Penentu Peran Gender
Pembagian tugas dan nilai bagi laki-laki dan perempuan berbeda disetiap budaya. Gender disebut sebagai sesuatu yang dibentuk secara kultural atau budaya, bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan dalam lingkungan sosial. Budaya dalam masyarakat memaknai gender sebagai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Mereka mewariskan pemahaman mengenai tata cara melanjutkan kehidupan ke generasi selanjutnya sesuai dengan peran laki-laki maupun peran perempuan. Perempuan diperankan sebagai penanggung jawab urusan rumah tangga, anak, dan suami, sedangkan laki-laki diperankan sebagai seorang kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga (Jalil, 2018). Seiring dengan adanya asimilasi budaya yang didorong oleh perkembangan zaman, budaya bergeser dan memberi ruang gerak bagi perempuan untuk berperan dalam kegiatan publik seperti ekonomi, politik, dsb.
3. Masyarakat sebagai Penentu Peran Gender
Masyarakat sebagai kelompok yang menciptakan pembagian peran gender untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dari kecil anak laki-laki dilarang untuk menangis, pemalu, dan lemah lembut, sementara anak perempuan justru dituntut berperilaku lemah lembut dan tidak boleh terlalu berani. Hal-hal seperti ini kemudian berkembang menjadi sesuatu yang dipertahankan dan dianggap sebagai bagian dari masyarakat normal, kemudian merambat pada penentuan peran bagi tiap gender yang ada, antara domestik dan publik bagi laki-laki dan perempuan. Masyarakat secara tegas memandang laki-laki dan perempuan dari segi kodrat yang tidak dapat diubah dan dipertukarkan, baik biologis maupun kehidupan sosial. Oleh sebab itu, peran gender yang dikonstruksi dalam masyarakat cenderung baku dan tabu untuk menjadi beda dari kebiasaan masyarakat. namun hal ini bergantung pada masyarakat, karena kepercayaan dan pandangan tiap masyarakat mempunyai perbedaan masing-masing. Namun umumnya masyarakat menentukan peran feminim domestik bagi perempuan, serta peran maskulin dan publik bagi laki-laki.
- Perspektif Feminitas
Pembatasan peran gender terhadap perempuan tentu membatasi gerak kaum perempuan, belum lagi adanya subordinasi atau penomorduaan peran perempuan dalam kebiasaan masyarakat. Sistem pembagian peran gender tradisional mengurangi kesempatan perempuan untuk dapat berkontribusi demi kemajuan bersama. Maka dari itu dibutuhkan adanya kesetaraan gender, bukan saling memindahkan tanggung jawab, tetapi memandang laki-laki dan perempuan berada pada kedudukan yang sama, dengan fungsi yang sama, serta hak yang sama.
- Perspektif Maskulinitas
Peran gender yang cenderung patriarki selama ini menitikberatkan pada tuntutan bahwa laki-laki harus pandai dengan urusan publik dan tidak lazim untuk menguasai urusan domestik. Padahal dari satu sisi, seorang laki-laki yang mampu mengerjakan pekerjaan domestik bisa menjadi nilai tambah dalam keberlangsungan rumah tangga karena bisa mengurangi beban kerja perempuan terutama bagi perempuan yang juga memiliki pekerjaan di luar rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H