Lihat ke Halaman Asli

Sepucuk Surat

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di sebuah desa yang sangat terpencil tinggal seorang petani yang sangat miskin. Dia merelakan istrinya bekerja di kota menjadi seorang pembantu. Kala itu anak mereka masih kecil dan dia sangat rajin membantu bapaknya di sawah. Demi anak semata wayangnya sang ayah dan ibu rela bekerja siang dan malam asalkan anak tercintanya dapat sukses tidak seperti mereka yang buta huruf. Sang anak tumbuh menjadi anak yang pintar dan dengan senyumnya membantu ayahnya yang buta huruf belajar membaca hingga si ayah bisa membaca. Hari demi hari sang anak tumbuh menjadi pemuda dewasa. Sang ayah yang sudah agak renta tidak dapat lagi bekerja siang dan malam, ibunya pun sudah tidak dapat bekerja di kota karena tubuhnya yang mulai melemah. Sang anak bertekad untuk mendapatkan beasiswa di kota dan akan kembali lagi menjadi orang sukses. Ayah dan Ibunya meridhoi anaknya pergi dengan doa yang slalu mereka panjatkan agak anak tercintanya sukses.

"Hati-hati... jaga solatmu... berdoa slalu ke Allah, Insya Allah segalanya akan dimudahkan," ucap Sang Ibu dengan lembut.

"Jalanlah lurus... jika kamu belok sedikit kamu akan sulit lagi untuk menemukan jalan lurus itu. jangan terpedaya oleh harta yang akan kamu dapatkan," ucap Sang Ayah.

Anak itu kemudian mencium kedua tangan orang tuanya dan berjalan meninggalkan kampung halaman dengan tekad akan mendapatkan beasiswa dan sukses di kota. Dan tak henti-hentinya ayah dan ibunya mendoakan dari jauh.

Di kota anak ini mendapatkan apa yang dia inginkan beasiswa untuk kuliahnya. Setelah kuliahnya selesai dia bekerja di perusahaan besar di kota. Bergelimang harta, dia tetap sibuk dengan kerjanya. Solat ataupun berdoa sudah dilupakannya. Di desa ayah dan ibunya semakin renta tak ada kabar lagi dari anak tercintanya. Tubuh tua itu sudah melemah tak dapat lagi bekerja makan pun mereka tidak mampu lagi hanya menunggu pemberian dari tetangga yang makanannya tidak habis. Miris melihat kehidupan mereka. Suatu hari sang ayah ke kota dan ingin mencari anaknya. Perut yang lapar terasa sangat menyakitkan sampai ke ulu hati tapi tak mengurungkan niat ayah yang tua renta itu untuk tetap berjalan menyusuri kota yang asing baginya. Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya turunlah seorang pemuda tampan dengan sepatu mengkilatnya melewatinya.

"Anakku!" ucapnya melemah.

"Siapa?" ucap si anak yang malu.

"Ini ayah, Nak. jauh sekali ayah berjalan dari desa."

"Ini ambil dan makanlah," sahut anak itu dan berjalan menjauh dari ayahnya.

Tak terasa air mata menetes dari wajah renta sang ayah. Lapar pun sudah tak dihiraukannya lagi. Tubuh rentanya berjalan lagi menuju desa. Dilihatnya istrinya yang sudah melemah. Hanya air mata lagi yang menghiasi wajah renta keduanya. Tubuh sang istri pun mulai mendingin dan terus melemah sampai akhirnya sang istri meninggalkannya. Hari demi hari dilewati sang ayah yang sudah renta di desa dengan kesendirian. Sampai akhirnya dia pun meninggal dengan kerinduan dengan anak semata wayangnya. Sepucuk surat di meja kayu yang ditinggalkan.

Suatu hari sang anak terketuk hatinya dan melunak untuk menemui orang tuanya di desa. Namun ketika dia sampai di rumah bambu yang ditinggalinya sudah tidak terawat. Sang anak masuk dan tidak ada orang tuanya di dalam pikirnya mungkin di sawah. Dia tidur-tiduran di kasur kapuk yang sudah usang. Dia menemukan kertas yang sudah agak usang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline