Redikalisasi online telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, di mana individu terpapar ideologi ekstremis melalui platform-platform digital. Berdasaekan data dari I-KHub, media sosial menempati urutan ketiga teratas sebagai media paparan terorisme setelah komunitas dan aplikasi. Fenomena ini menciptakan lingkungan yang memicu proses radikalisasi pada tingkat individu, menghasilkan apa yang dikenal sebagai Lone Wolf. Lone Wolf merupakan manifestasi dari radikalisasi online, di mana individu yang terpengaruh secara mandiri mengadopsi ideologi terorisme dan secara independen merencanakan serta melaksanakan aksi kekerasan. Istilah Lone Wolf digunakan untuk membedakan aktivitas teroris yang sengaja dilakukan seorang individu dari yang dilakukan oleh organisasi teroris atau suatu badan milik negara
Lone Wolf dibagi ke dalam 4 tipologi: (1). Loner, yaitu individu yang merencanakan dan mencoba melakukan serangan tanpa terafiliasi oleh kelompok ekstrimis namun menggunakan ideologi para kelompok ekstrimis. (2). Lone Wolf, yaitu individu yang melakukan tindakan sendiri tanpa adamya dorongan dari luar namun masih memiliki hubungan dengan kelompok ekstrimis aktif. (3). Lone Wolf Pack, yaitu individu yang telah memiliki motif ideologi atas sebuah proses self-radicalise. (4). Lone Attackers, yaitu individu yang beroperasi secara sendirian namun memiliki afiliasi dan kontrol kuat dengan kelompok ekstrimis aktif
Lone Wolf menjalani setiap tahapan prosesnya secara independen, melibatkan tiga tahapan utama yaitu self-selected, self-radicalized, dan self-trained. Ketiga tahapan ini membantu mereka mempersiapkan dan memperkuat motif di balik ideologi yang mereka anut, tanpa keterlibatan pihak lain dalam proses ini.
Menurut Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, rentang waktu Lone Wolf melakukan penyerangan usai terpapar ideologi radikal adalah kurang dari satu tahun. Berbeda dengan orang-orang yang terlibat dalam jaringan teroris yang membutuhkan waktu lebih lama karena harus mengikuti pelatihan-pelatihan tertentu. Akibatnya, aksi yang dilakukan cenderung kreatif dan inovatif, tetapi juga sangat berbahaya. Bisa dikatakan, para Lone Wolf memiliki kebebasan yang sangat luas sehingga dapat bertindak berdasarkan skenario apa pun yang mereka inginkan. Tidak terbentur dengan kepentingan dan aturan-aturan di dalam kelompok.
Di Indonesia sendiri, fenomena Lone Wolf pertama kali terjadi pada tahun 2015 di mana terjadi ledakan di Mall Alam Sutera yang melibatkan seorang pria yang menggunakan tipe bom dengan daya ledak high explosive yang bernama TATP. Kemudian, kasus seorang pelajar asal Subang yang melakukan perakitan bom pipa karena paparan narasi-narasi radikal yang disebar melalui internet. Ledakan bom panci di Bandung tahun 2017, peledakan bom di Pospol Kartasura dan serangan bom ke Markas Polisi Medan tahun 2019, dan serangan di Mabes Polri tahun 2021.
Ancaman Lone Wolf menjadi tantangan baru tidak hanya bagi kepolisian Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat. Terutama pada wilayah-wilayah yang telah diwaspadai menjadi daerah paling rawan terhadap perkembangan isu terorisme. Hal ini karena beberapa faktor:
Lone Wolf tidak memiliki pemimpin dan perintah khusus untuk melangsungkan aksinya. Mereka dapat melancarkan aksinya secara random dalam hal waktu dan tempat, sehingga pola serangan yang dilakukan oleh Lone Wolf Terrorist tergolong abstrak dan sulit ditebak
Lone Wolf tidak menggunakan jalur komunikasi baik secara online maupun offline yang mampu dideteksi ketika ada hal-hal yang mencurigakan. Padahal, jalur terbesar dalam mengungkap sebuah jaringan dan pelaku-pelaku teror biasanya dideteksi melalui alur komunikasi.
Lone Wolf lebih memilih alat-alat yang mudah ditemukan dan sederhana untuk melancarkan aksinya dibandingkan dengan bom yang bahan-bahan dan teknik-tekniknya tergolong sulit yang.
Lone Wolf tidak bergantung kepada pihak lain baik dari rencana serangan hingga pendanaan. Mereka bergerak sendiri mengumpulkan setiap dana yang kemudian digunakan untuk mendukung aksi terornya sehingga deteksi melalui dana dari luar juga tidak mungkin terendus oleh para aparat keamanan.
Generasi muda pada dasarnya menjadi sasaran yang empuk karena setiap hari berkutat dengan internet. Ditambah dalam beberapa kasus, anak muda dengan mudahnya terpapar konten radikal dan melakukan aksi teror karena mengalami krisis jati diri. Fenomena yang ada juga menunjukkan kalau proses radikalisasi tidak memerlukan tempat khusus, melainkan menjadi sangat dekat dengan kita akibat adanya internet.