Hari Raya Galungan memiliki sejarah serta kearifan lokal bagi masyarakat Hindu di Bali. Berikut ini penjelasannya!
Galungan adalah hari raya umat Hindu yang diperingati sebagai hari kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan). Hari Raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 6 bulan kalender Bali atau tiap 210 hari yang jatuh pada hari Budha Kliwon Dungulan atau dikenal juga dengan istilah Rabu Kliwon Wuku Dungulan. Biasanya, pada Hari Raya Gulungan, umat Hindu akan bersembahyang kepada Sang Hyang Sangkara di rumah maupun di pura.
Baca juga: Tradisi dan Makna Penjor dalam Menyambut Hari Raya Galungan Umat Hindu di Bali
Perayaan Hari Raya Galungan, selalu identik dengan hiasan penjor yang terpasang depan rumah. Penjor sendiri merupakan bambu melengkung panjang yang dihiasi tangkaian janur, dan biasanya dilengkapi dengan hasil bumi.
Bentuk penjor yang melengkung ke bawah tentunya memiliki makna yang mendalam, yaitu kerendahan hati. Jadi, apapun kekuatan yang ada, kebenaran harus ditegakkan dengan rendah hati.
Sejarah Hari Raya Galungan
Sejarah Hari Raya Galungan erat kaitannya dengan mitologi Hindu-Bali, yang mana pertama kali dirayakan pada 882 Masehi. Namun selama bertahun-tahun, ritual tersebut sempat berhenti yang akibatnya raja-raja yang berkuasa di Bali saat itu banyak yang wafat di usia muda.
Baca juga: Banten-Banten yang Saya Persiapkan Menyambut Hari Raya Galungan
Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan diadakan kembali. Awalnya, sang raja heran mengapa raja-raja sebelumnya berumur pendek dan Bali sering dilanda musibah. Kemudian, sang raja bersemedi dan mendapatkan wangsit mengenai keanehan yang terjadi selama ini dikarenakan masyarakat Bali melupakan peringatan Galungan. Akhirnya, atas perintah Raja Sri Jayakusuma, Hari Raya Galungan pun dihidupkan kembali hingga saat ini.
Rangkaian Hari Raya Galungan
Peringatan Hari Raya Galungan biasanya dilakukan serangkaian upacara. Adapun rangkaian Hari Raya Galungan adalah sebagai berikut:
1. Tumpek Wariga
Tumpek Wariga jatuh pada Sabtu Kliwon 25 hari sebelum Galungan. Adapun tradisi Tumbek Wariga dirayakan dengan menghantarkan sesaji berupa bubur sumsum yang diletakkan di sebuah pohon sebagai cinta manusia terhadap tumbuhan.