Lihat ke Halaman Asli

La Ode Ikhsan Al Arifa

Menulis bentuk relaksasi diri🌻

Pulang

Diperbarui: 9 April 2022   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

"Secarik Tulisan Keresahan Untuk Kampung Tak Berhalaman"

Komentar: Ah, Sok Tau !!

Perkenalkan saya adalah orang yang sering disebut mahasiswa di kampung saya. Bagaimana tidak nyatanya saya adalah orang yang sedang kuliah di perguruan tinggi di salah satu kota. Jadi agak wajar jika banyak orang yang menyebut saya manusia akademik dengan esensi berbeda dengan orang lainnya. Lebih jauh perkenalkan saya adalah anak yang terlahir dari pasangan orang tua di sebuah pulau kecil di selatan pulau Buton. Kadatua itu nama daerah saya. Tempat dimana saya di besarkan dengan lingkungan penuh keyakinan dan adat yang di junjung tinggi.

Kampung/daerah saya pastinya indah, seindah sajak dari sastrawan negeri ini. Orang-orangnya ramah, wajar sih karna namanya juga pulau kecil jadi keterikatan darah itu masih terjalin. Daerah ku di kenal dengan kearifan lokal masyarakatnya yang masih menjaga alam. Terutama laut, karna penghasilan warga disana laut. Saking dihargainya laut beberapa warga berfikiran untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai anak dan di masukan dalam data kependudukan. Sedikit bercanda hehe supaya tidak jenuh baca perkenalan saya.

Zaman berganti, umur bertambah, pikiran berkembang, hingga puncak nya pergejolakan hati hadir mewarnai keresahan saat melihat realita daerah yang saya kagumi semakin jauh yang di harapkan. Entah kerasahan ini hanya saya atau juga teman-teman tapi memilih diam adalah jalannya.

Seperti kebiasaan banyak orang yang merantau, saya sering pulang kampung dan menyaksikan peristiwa yang membuat saya mengelus dada sembari merenung apa yang bisa saya lakukan untuk daerah yang begitu saya banggakan. Daerah yang selalu saya ceritakan pada teman-teman dengan edisi yang tak kunjung selesai untuk diskripsikan. Di kota yang saya tempati banyak buku yang pernah saya baca dan berdiskusi dengan orang-orang baru tapi rasa-rasanya tak berfungsi jika saya tak memberi manfaat bagi alam semesta di daerah saya.

Peristiwa memiriskan ini sama dengan beberapa daerah lain di Sulawesi. Generasi muda carut marut, pemerintah yang lalai dengan tugasnya, mosi tidak percaya masyarakat terhadap mahasiswa dan lebih mirisnya bahkan saya dan teman-teman mahasiswa dari kota berbeda ketika pulang hanya di anggap meramaikan kampung. Ah, kesal dalam hati. Tapi, setelah saya pikir-pikir benar juga kata mereka. Walaupun orang tua di kampung ku tidak seperti kami yang kuliah tapi apa yang mereka ungkapkan itu kata hati dan tak bisa di salahkan.

Siapa yang salah dan siapa yang benar saya pikir bukan sebuah pertanyaan ideal untuk di diskusikan. Memakan waktu dan menguras waktu karna toh pun unfaedah. Jika kita berenang lebih dalam memasuki lorong waktu mereka adalah korban dari kita (mahasiswa) yang tidak mampu memberikan mimpi sederhana untuk kuliah dan menjadi mahasiswa. Mahasiswa hanya memburu gelar sarjana dan pulang jadi pengangguran setelah lulus. Ucap lirih mereka dalam percakapan setelah lulus. Bahkan anak SMP pun tak berani bermimpi kuliah padahal mimpi tak di larang. Bapak proklamator negeri ini pernah bilang "bermimpilah setinggi langit". Nyatanya adik-adik saya takut bermimpi takut jatuhnya sakit. Faktor ekonomi jadi salah satu penyebabnya.

Nelson Mandela, presiden Afrika Selatan pernah berucap dalam pidato nya " pendidikan adalah jalan memutuskan rantai kemiskinan". Saya pikir kalau di kembangkan lagi pernyataan ini lebih dari sekedar memutuskan tapi menyelematkan generasi yang sekarang carut maruk hingga irisan-irisan luka begitu terasa di pulau indah kita. Lalu bagaimana peran saya sebagai orang yang di labeli manusia akademik. Atau kita secara keseluruhan sebagai mahasiswa. Saya, kamu dan dia adalah kita untuk Kadatua lebih baik. Apakah saya bermimpi?. Karna nyatanya banyak teman-teman saya memilih memikirkan diri sendiri. "kuliah baik-baik, lalu kerja" ucapnya.

Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, saya bukan guru. Bukan pula bermaksud sok tau, karna saya orang bodoh dengan keterbatasan pengetahuan. Tulisan ini buktinya. Menggunakan bahasa umum karna saya penulis amatir. Tapi, izinkan saya menulis apa yang genting untuk kita pikirkan sembari tindak lanjuti masalah tersebut. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Kadatua dan generasi itu jauh lebih penting dari apa yang kita perjuangkan di tanah rantau. Ya, pulang. Bukan sekedar pulang kampung. Tapi pulang sebenar-benarnya pulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline