Lihat ke Halaman Asli

Negara bertubuh tanpa ''Jiwa''

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara diterima secara umum sebagai pengertian yang menunjukkan organisasi teritorial sesuaut bangsa yang memiliki kedaulatan. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan Politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan golongan tau asosiasi maupun oleh negara sendiri.

Negara mempunya dua tugas yaitu: pertama: mengendalikan dan menatur gejala-gejalah kekuasaan yang asosial. Yakni yang bertentangan satu-sama lain. Supaya tidak anatagonistik yang membahayakan. Mengorganisasikan dan mengintergrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.

Dalam konteks Indonesia, layaknyalah manusia-manusia Indonesia itu adalah merupakan menusia yang berTuhan, manusia-manusia yang beradab; orang-orang yang mengaku bernegara Indonesia harusnya hidup bersatu, hidup berdampingan secara damai; jika terdapat masalah dalam kehidupan bernegara diselesaiakan dengan mesyawara dalam koridor kekeluargaan jauh dari kekerasaan, sehingga orang-orang yang hidup dalam bingkai Negara Indonesia semuanya hidup sejahtera. Minimal itulah dasar bernegara bagi adanya Indonesia ini yang menurut saya juga harusnya instrument alat ukur ke Indonesiaan kita. Dasar yang menjadi pondasi hidup bersama kita, dasar yang menjadi target capaian kita hidup bersama kita. Lahirnya dasar-dasar itu hari kemarin kita peringati ‘’kesaktiannya’’.Dasar-dasar tersebut ibarat manusia adalah jiwahnya, yang menunjukan keberadaannya secara hakiki, ‘’wujuduhu kaadamihi’’. Yang merupakan instrument kualitatif membedakan dia dengan negara lain, membedakan dia dengan jiwa yang lain. Pemerintahan dalam negara ini boleh berganti, tapi target-target untuk mencapai kesejahteraan bersama harus diwujudkan. Bukan kesejahteraan pribadi yang dikejar tapi harus sejahtera bersama-sama, kita semua harus sejahtera. Pertanyaannya masihkah kita punya jiwa, ketika bom mamatikan orang-orang tak dosa, ketika kekerasan dan tawuran terjadi dimana saja dan kapanpun ia mau, masalah-masalah diselesaikan dengan kekerasan? Masihkah sakti dasar itu, ketika sebagian orang ‘’elit’’ hidup sejahtera dengan nyamannya, sementara di belahan lain, kita hidup dengan penuh keterbatasan. ‘’Keterbatasan’’ kekurangan itu nambak dari pusat negara, hidup dibantaran rel kereta, pinggir sungai, bawah kolong jembatan, pun apalagi yang hidup di daerah perbatasan? Padahal ‘’elit’’ yang menjadi atau yang kita pilih menjadi pemimpin kita untuk mewujudkan kesejahteraan bersama ini, diawalnya telah mengingat janji dengan kita, bersumpah dengan kitab suci di atas kepalanya, untuk berjuang mensejahteraan kita. Dia berjanji untuk tidak korupsi, dia berjanji untuk memanfaatkan tenaga dan pemikirannya demi menyejahteraan orang-orang dalan negara ini, dia berjanji untuk berpihak pada kita yang lemah ini. Namun kenyataannya???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline