Lihat ke Halaman Asli

RU Lata dalam Perspektif Ekolinguistik

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Abstract

Language is the heritage the must be preserved. The time, language and culture have been changing time by time. But the mob rule is valid in language world which the stronger is dominant than the weaker. The instant culture has changed even influenced all the aspect of human’s life. Taking the law and health term, Sabu language has got the verbal strictness and has violated by Savu Raijua youth. The disease doesn’t attack the human being, but also spread the virus which grows faster and be sickness. It affects the death of Sabu Language. The area of language were they stay has been contaminated by the modern pollution and makes the area (words, phrases, and text) which links with the human’s life has been reduced by the instant culture. The wisdom becomes the dream for the leader. The lexicons and metaphor of Sabu language “ru lata” torn in its own world.

Keywords : language, torn, time.

I.Pendahuluan

1.1.Latar belakang

Meminjam pernyataan Cassirer bahwa “bahasa adalah karakter yang mendefinisikan manusia” maka jelaslah bahasa dan manusia adalah dua unsur yang tak dapat dipisahkan. Manusia hidup berinteraksi, bergantung pada lingkungan dan segala isinya. Isi lingkungan adalah tumbuh-tumbuhan dan hewan serta lingkungan yang mempengaruhi perkembangan manusia, membentuk kepribadian manusia bisa juga disebut dengan kebudayaan atau adat istiadat. Maka dengan kata lain manusia, bahasa, lingkungan (alam sekitarnya), dan budaya adalah satu mata rantai yang tak dapat dipisahkan. Hubungan saling ketergantungan, atau keterkaitan tersebut sudah kodratnya atau dapat dikatakan sudah alamiahnya seperti itu. (Reichling, 1971) dalam bukunya Bahasa: Hukum-Hukum dan Hakekatnja, mengatakan

… Dan karena manusia itu menurut kodratnja (alamnja) adalah maklukh sosial, maka achirnja bahasa itu dari kodratnja (alamnja) berdasarkan djuga atas pengaruh jang menentukan dari lingkungan tempat manusia itu dibesarkan dan hidup, atas dasar pengaruh sosial jang menentukan. Maka dari itu bahasa pada hakekatnja timbul ‘dari alam’ ini semua tidak membutuhkan ‘perdjandjian’

Dari pendapat Reichling diatas, jelas diakatakan bahwa pada hakikatnya bahasa berasal dari alam, ini berarti adanya bahasa alam atau bahasa lingkungan, yang oleh Haugen (1972) diperkenalkan dengan istilah ecology of language (1972: 325, dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001: 57). Haugen memaparkan “ecology of language may be defined as the study of interactions between any given language and its environment”. Pemahaman ekologi bahasa di atas dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang interaksi atau hubungan timbal balik antara bahasa tertentu dan lingkungannya. Haugen menegaskan bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi dalam hubungan antarpenggunanya satu sama lain dan lingkungan, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam.

Bahasa yang digunakana oleh kita saat ini merupakan warisan peninggalan leluhur. Bahasa-bahasa daerah merupakan warisan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan, baik oleh generasi tua, terlebih lagi oleh generasi muda. Pewarisan bahasa bukan saja dalam bentuk bahasa sebagai alat komunikasi, tetapi juga dalam bentuk budaya. Baik itu budaya yang mencerminkan kehidupan sosial keluarga, bermasyarakat, tetapi juga mencerminkan religiusitas.

Bagi masyarakat Sabu warisan bahasa dan budaya, sangat menyatu dengan seluruh aspek kehidupan, baik itu aspek kehidupan sehari-hari hubungan manusia dengan manusia, maupun dalam aspekkehidupan religi manusia denganDeo (Tuhan). Manusia Sabu memanfaat segala apa yang ada di lingkungannya untuk dipergunakan sebagai fasilitas atau perlengkapan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam ritual-ritual mereka.

Salahsatunya adalah pemanfaatan daun pandan yang oleh masyarakat Sabu dikenal dengan ru lata. Daun pandan ini dioalah atau dibuat, dianyam menjadi tikar (dappi lata) dan digunakan bukan saja sebagai alas duduk atau tidur, atau bahkan di jual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetepi dappi lata ini memiliki nilai tinggi, yaitu dipandang sebagai tikar para raja, tikar Mone Ama, dan masih terdapat nilai lainnya.

Namun seiring perkembangan jaman, teknologi mulai berkembang, tikar pandan yang menjadi tikar kebanggaan tersebut harus “koyak” di negeri sendiri, lantaran  menjamurnya kasur busa, karpet dan berbagai jenis tikar dari plastik yang lebih keren, bila dibanding dengan daun pandan yang telah dihaluskan sebelum dianyam menjadi sebuah tikar. Maka jelaslah perkembangan jaman menjadi factor utama bergesernya nilai-nilai budaya dan mengakibatkan bergeser pula bahasa suatu tempat dalam hal ini bahasa dan budaya Sabu mulai bergeser.

Bahasa yang selalu dipakai atau selalu digunakan oleh penuturnya, baik itu penutur tua maupun pada penutur muda, maka kebertahanan bahasa akan tetap dapat dilihat. Tetapi sebaliknya jika bahasa tersebut mulai ditinggalkan atau perlahan mulai dilupakan, digantikan dengan bahasa-bahasa lain, atau istilah-istilah baru maka secara perlahan bahasa tersebut mulai bergeser, atau dapat dipastikan menuju pada kepunahan bahasa.

1.2Masalah, Tujuan, dan Metode

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah pengetahuan generasi muda sebagai penutur bahasa Sabu tentang leksikon yang berkaitan dengan daun pandan atau ru lata di Kabupaten Sabu Raijua. Jawaban terhadap pertanyaan ini terkait erat dengan tujuan penelitian ini yaitu mengungkapkan dan mendeskripsikan tentang pengetahuan generasi muda sebagai penutur bahasa Sabu tentang leksikon yang berkaitan dengan daun pandan atau ru lata. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif.

II.Konsep dan Landasan Teori

2.1.Konsep

2.1.1 Ru lata (Daun Pandan)

Pandan adalah tumbuhan monokotil yang memiliki jenis atau varietas yang beragam. sebagian besar anggotanya merupakan tumbuhan yang mudah tumbuh di pantai-pantai daerah tropika. Jenis tumbuhan ini memiliki tekstur daun yang panjang (seperti daun palem atau rumput) dan ada diantar jenis ini yang pada daunnya memiliki duri. Di daerah Papua banyak tanaman pandan yang tumbuh hingga mencapai 15 meter dan daunnya selalu hijau (evergreen). (Keim 2008).

Di Nusa Tenggara Timur khususnya di Kabupaten Sabu Raijua, Pandan tumbuh hijau mewarnai kota gersang tersebut. Di Kab. Sabu ada tiga jenis pandan yakni pandan yang daunnya bisa dibuat tikar atau pandan tikar dalam bahasa latinnya (Pandanus tectorius) yang oleh masyarakat Sabu menyebutnya ru lata. Pandan tikar atau ru lata memiliki stuktur daun yang lebih halus dan berduri kecil dibagian sisi daun.Pandan laut atau pandan pudak duri dalam bahasa latin (Pandanus odorifer) pada masyarakat Sabu sering menyebut dengan pandan liar atau dalam bahsa Sabu lata huki. Pandan liar atau pandan laut, lata huki memiliki struktur daun yang kasar dan duri yang besar dan lebih panjang, dan pandan wangi dalam bahsa latin pandan amaryllifolius dalam bahsa Sabu dikenal dengan lata mangipandan wangi memiliki daun yang halus dan tak berduri serta mengeluarkan aroma wangi pandan, Daun pandan biasa dipakai dalam pembuatan kue atau masakan lain seperti kolak danbubur kacang hijau. Sewaktu menanak nasi, daun pandan juga kerap diletakkan di sela-sela nasi dengan maksud supaya nasi menjadi beraroma harum.

2.2.Landasan Teori

2.2.1 Ekolinguistik

Ekolinguistik adalah satu kajian ilmu yang masih bisa dibilang baru, dan masih jauh dari perhtian para linguis atau para peneliti maupun pemerhati bahasa. Kajian ini berbicara mengenai bahasa lingkungan atau lingkungan bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia jelaslah hidup dan dapat dipastikan bergantung pada lingkungan sekitar dalam hal ini lingkungan alam dan kemudian mencerminkan budaya dari manusia itu sendiri. Bahasa lingkungan atau lingkungan bahasa merupakan dasar dari kajian ekolinguistik. Bahasa, lingkungan dan budaya merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan.

Ekolinguistik atau ekologi bahasa merupakan ilmu yang mempelajari hubungan bahasa dan lingkungan sekitarnya. Dalam buku The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology and Environment (2001:57)Haugen memaparkan beberapa unsur utama dalam ekolinguistik yang pertama adalah aspek psikologis yakni hubungan antara bahasa lain yang terdapat dalam pikiran penutur bilingual atau multilingual. Yang kedua aspek sosiaologis, yakni hubungan dengan masyarakat yang berfungsi sebagai media komunikasi. Yang ketiga, bahasa hidup dalam pikiran penuturnya, dan akan berfungsi bila penuturnya saling berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, seperti interaksi antara lingkungan social ataupun lingkungan alamiah.

Mbete,2009 memaparkan bahwa ekolinguistik adalah salah satu cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang bahasa dan lingkungan. Dasar dari kajian ekolinguistik adalah bahasa, ekologi, dan lingkungan. Ekolinguistik, selain menekankan bagaimana hubungan fisik dan social, tetapi juga bagaimana hubungan bahasa dan budaya.

Dalam kajian Ekolinguistik, pembahasan mengenai suatu bahasa dengansendirinya akan membahas pula mengenai penutur bahasa tersebut (guyub tutur), dimana bahasa tersebut hidup (lingkungan bahasa) dan bagaimana membahasakan segala yang ada disekitar guyub tutur (bahasa lingkungan) bahasa lingkungan bisa berupa kata, frasa, teks, tentang lingkungan.

Mühlhaüsler (2001) mengatakan ekologi adalah studi tentang hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua hal yang saling berkaitan yakni bahasa dan lingkungan, dua hal tersebut yang akan dihubungkandan menjadi focus pada penelitian ekolinguistik. Fokusnya juga tergantung apakah lingkungan bahasa atau bahasa lingkungan, atau bisa saja keduanya.

III.Pembahasan

Tumbuhan pandanmenjadi objek mata pencaharian masyarakat Sabu sejak zaman dahulu. Tradisi leluhur orang Sabu pada saat itu memanfaatkan alam atau lingkungan untuk kehidupannya. Pandan tikar atau ru latadianyam menjadi tikar dan berbagai keutuhan kehidupan. Tikar pandan ini kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup kebutuhan ekonomi masyarakat Sabu Raijua. Tikar pandan atau dappi lata bukan saja bernilai ekonomi tetapi dappi lata ini memiliki nilai lebih bagi masyarakat Sabu. Dappi lata merupakan tikar kebanggaan bagi orang Sabu Raijua, tikar yang hanya bisa dibuat oleh tangan orang dari pulau Raijua ini disebut sebagai tikar para raja. Dappi lata digunakan untuk duduk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan keluarga dan sosial masyarakat Sabu Raijua. Dappi lata ini pula yang selalu dipakai oleh para pemangku adat (Mone Ama) ketika melakukan berbagai ritual kepada para leluhur. karena itu ada filosofi atau kepercayaan orang Sabu yang mengatakan bahwa tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan apabila sudah duduk didalam satu tikar pandan (me’jadi pa hewue dappi lata).

Selain untuk membuat tikar pandan, daun pandan yang kebanyakan hidup dan dipelihara secara baik di pulau raijua juga bisa digunakan untuk membuat berbagai macam media penyimpanan seperti tempat sirih pinang dan tembakau (kepepe). Daun pandan juga digunakan untuk membuat tempat penyimpanan pangan atau beka sebuah wadah yang menyerupai sebuah tas tapi hanya bisa menyimpan makanan dalam jumlah kecil atau maksimal 5 kilo gram, sementara tempat penympanan yang lebih besar atau hoka bisa menyimpan bahan pangan mencapat 100Kg. Selain lontar, pandan  juga menjadi bagian penting dalam kehidupan orang di pulau Raijua sebagai penghasil ekonomi. Pada jaman dahulu tikar raijua akan dibarter dengan pangan seperti padi dan jagung maupun kain tenun dari pulau Sabu.

Di Pulau sabu sendiri dikenal ada dua jenis tikar yang dibedakan dari bahan baku pembuatannya serta ukurannya. Tikar pandan memiliki ukuran lebar 1,5 meter dan panjang 3 meter. Sementara tikar lainnya yakni tikar yang terbuat dari daun lontar dappi kalli memiliki ukuran yang lebih panjang dan lebar. Dappi kalli ini biasa digunakan oleh masyarakat biasa selain sebagai alat tempat duduk dan tempat tidur juga digunakan sebagai media untuk menjemur hasil pangan seprti jagung, padi amupun kacang-kacangan. Walaupun demikian orang sabu dan raijua selalu memiliki tikar pandan bagaimanapun tingkat kemiskinannya. Hal ini mereka siapkan ketika para Mone ama atau seorang raja bertandang ke rumah mereka serta menjaga jangan sampai ada yang meninggal dunia.

Dappi lata tidak hanya menjadi media sebagai alat tempat duduk atau tempat tidur namun bagi penganut aliran kepercayaan Jingitiu di sabu Raijua, dappi lata memiliki makna yang sangat penting untuk kehidupan di alam setelah kematian yang mereka sebut alam ere janna ra horo janna lod'o. Seorang yang meninggal dunia akan dikuburkan dalam keadaan dibungkus dengan tikar pandan yang dipercayakan bahwa tikar pandan ini akan menjadi media mereka bersimpuh menghadap yang khalik.

Namu jika dilihat perkembangan bahasa Sabu saat ini, pengetahuan leksikon-leksikon tentang ru lata mulai dilupakan oleh manusia muda saat ini. Hukum rimba juga berlaku dalam lingkungan bahasa dan bahasa lingkungan atau dalam kajian ekoilinguistik. “Apa yang kuat akan menguasai yang lemah”. Bahasa yang lebih dominan atau lebih kuat di lingkungan pergaulan atau lingkungan hidup generasi muda mulai menjepit bahasa Sabu. Sehingga orang muda lebih senang menggunakan bahasa yang lebih trend dianggap lebih gaul sehingga keinginan untuk menggauli bahasa Sabu sudah tak ada.

Lingkungan bahasa Sabu sebagai ruang untuk hidup dan berkembangnya bahasa Sabu, dimana manusia hidup dan menggunakan bahasa tersebut diharapkan mampu beradaptasi, Beradaptasi dalam ekolinguistik bernilai positif dan negative. Adaptasi yeng bernilai positif berarti mampu menguatkan daya hidup bahasa Sabu sehingga tidak mudah terjepit oleh bahasa-bahasa luar atau bahasa-bahasa asing, dan kemampuan bertahannya bahasa lokal ini akan bernilai positif juga yakni demi pengembangan ekonomi kreatif. Sedangkan adaptasi yang bernilai negative, artinya adaptasi yang kemudian merusak tataran-tataran bahasa, baik itu dalam bentuk leksikon-leksikon maupun sampai pada tingkat teks.

Meminjam beberapa istilah hukum, kekerasan verbal dan pemerkosaan yang biasanya terjadi pada sesama manusia, saat ini terjadi juga pada alam dan lingkungan sekitar. Ketamakan dan kerakusan manusia membutakan mata bahkan mata hati manusia, manusia yang tamak dan rakus bukan saja melakukan kekerasan verbal pada lingkungan yang telah memberikan kehidupan bagi manusia tetapi jugamemperkosa lingkungan tersebut.

Sikap serba instan atau budaya instan dan ketamakan manusia telah menggeser sekian banyak leksikon yang berhubungan dengan lingkungan. Budaya melestarikan lingkungan tinggallah teks yang terpampang dalam parade iklan-iklan di pinggir jalan, atau hanya sebatas semboya yang mulai using.Usaha ekonomi kreatif yang di programkan oleh pemerintah bisa jadi menjamur dan basi pada daftar program pemerintahan.

Manusia muda atau generasi muda saat ini mengalami penurunan rasa cinta terhadap lingkungan bahkan budayanya sendiri yang ditunjukkan dengan merusak, memperkosa lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sudah dibuktikan lewat penelitian Ketidakpahaman Butir-Butir Lingual dalam Bahasa dan Budaya Lokal yang melanda Generasi Muda Melayu Langkat (Saputra, 2009) dan Muna (Hadirman, 2009) dalam Mbete dkk., (2009). Memperkosa lingkungan juga dapat dilihat pada hobby para pemuda/i yang merusak alam, merusak hutan, mencemarkan lingkungan, erosi terjadi dimana-mana, sehingga kelestarian lingkungan tinggallah sebuah semboyan usang. Kekerasan verbal juga terjadi pada bahasa, salahsatunya dilihat dalam teks-teks sastra lisan baik dalam cerita rakyat atau lagu-lagu dalam bahasa daerah yang sarat makna atau bermakna namun kelihatan tak bermakna, hal tersebut di sebabkan karena generasi mudah lebih mengenal atau lebih mengakrabi diri dengan bahasa-bahasa international. Generasi muda mulai melupakan bahasa-bahasa daerah sehingga memberi dampak yang sangat serius bagi pemertahanan bahasa daerah terutama bagi bahasa Sabu.

Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan beberapa masyarakat Sabu yang merupakan pengrajin sekaligus pemasar Dappi lata baik itu dipasarkan di Sabu ataupun di Kota Kupang. Bora Raja, warga Desa Kolorae Kecamatan Sabu Raijua, dia harus menyeberangi ganasnya laut Sabu dengan memikiul tikar pandan hanya untuk mengais rejeki yang tak terlalu besar di Kota Kupang.  Dia berkisah tentang sulitnya menjual tikar pandan saat ini di Kota Kupang, tidak seperti yang diceritakan oleh para pendahulunya bahwa Kupang adalah tempat yang menjanjikan untuk bergadang tikar pandan.  Menurut Bora,  mencari daun pandan rupanya sudah menjadi pekerjaan yang sangat sulit saat ini di pulau Raijua. Tidak seperti dulu yang dengan gampangnya orang bisa mendapatkan daun pandan sebagai bahan baku untuk membuat tikar pandan atau peralatan lainnya seperti tempat menaruh barang, makanan atau tempat menaruh sirih pinang atau oko mama dalam bahasa dawan. Bagi pengrajin tikar pandan, mereka harus merogoh kocek demi mendapatkan daun pandan sebagai bahan baku pembuatan tikar pandan. Padahal harga jualnya jika sudah menjadi sebuah tikar tidak terlalu mahal, karena memang sudah sedikit sekali orang Sabu Raijua mau menggunakan tikar buatan tangan sendiri dalam berbagai acara baik itu acara keluarga hingga acara akbar.

Setiap proses, kegiatan, benda, keadaan yang berhubungan dengan ru lata akan didata atau direalisasikan dalam bentuk daftar leksikon berdasarkan kelas kata. Data-data leksikon yang didapat dari penutur-penutur tua ini kemudian menjadi tolak ukur untuk mengetahui tingkat pengetahuan generasi muda tentang leksikon-leksikon yang berhubungan dengan tikar pandan. Adapun datanya sebagai berikut.

KELAS KATA

VERBA

Arti

ADJEKTIVA

Arti

NOMINA

Arti

Atta ru lata

Memotong daun pandan

Kepepe

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline