Lihat ke Halaman Asli

Trie Yas

TERVERIFIKASI

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Dua Kisah Berseberangan

Diperbarui: 18 Desember 2018   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Cerpen Dua Kisah Bersebrangan (trie yas)

BEBERAPA hari ini aku teringat seorang teman yang hampir tiga tahun tak bertemu, pertama kali aku bertemu dengannya waktu kita sama-sama pergi ke Palau Seribu, tentu kami tidak hanya berdua, ada sekitar 50 orang yang ikut.

Aku adalah orang baru dari sekelompok orang itu, jadi aku lebih memilih diam. Memang aku tak terlalu suka percakapan kecuali dengan diri sendiri dan angin.

Jadi wajar, meski sudah hampir tiga bulan kami bekerja di kantor yang sama. Aku baru benar-benar mengenal wajahnya saat kantor mengadakan perjalanan liburan bareng selama dua hari.

Aku mengingat temanku itu tidak dengan sengaja, semua berawal ketika aku membaca cerita pendek yang di muat koran minggu, sebuah cerpen yang bercerita tentang pencarian. Tokoh utama dalam cerpen itu diceritakan sedang mencari Ayah kandungnya yang sejak lahir belum pernah ia lihat.

Temanku itu pernah bercerita tentang perjalanan hidupnya selama dua puluh lima tahun, ia rangkum dalam dua jam. Dalam perjalanan menuju pantai dari penginapan. ketika menikmati angin malam di pantai, aku lebih tertarik dengan ceritanya. Di lanjutkan dalam perjalanan pulang

Sebagai orang yang suka berkhayal dan menulis. Tentu aku mengincar cerita temanku itu untuk suatu hari bisa aku jadikan cerita pendek atau panjang. Karena keinginanku itu, aku mendengarkan setiap kata  yang keluar dari mulutnya.

Berbeda dengan cerpen yang aku baca, temanku itu mungkin pernah melihat ayah kandunganya, dan sekarang mungkin cuma lupa. Sebab ia memiliki adik dua perempuan semua. Mungkin ia melihat ketika lahir sampai berusia kurang dari lima tahun. Bukankah usia-usia itu, apa yang dilihat dan diperbuat akan hilang disapu waktu?

Temanku itu menceritakan perpisahan itu tanpa terlihat luka, bicaranya lancar, intonasinya datar, tak ada emosi atau kesedihan diraut wajahnya."Aku percaya perpisahan terkadang melahirkan lupa, dan dalam kasusku tentu lupa itu bukan disengaja. Kalau disengaja namanya itu melupakan," jawabnya saat aku bertanya bagaimana perasaannya.

Aku menganggap perpisahan yang diceritakan temanku itu adalah perpisahan sebagai takdir dari sebuah pilihan. Tentunya pilihan ibunya. Sebab perpisahan itu datang tanpa diawali sebuah perkenalan yang selayaknya.

Sepertinya ada masa kelam dalam kehidupan ibunya dan aku tak menyalahkannya ketika memilih diam dari pada menanyakan hal-hal yang sebenarnya berhak ia ketahui tentang masa lalu ibunya, lebih tepatnya masa kelam.

Aku juga masih ingat, dia bercerita tentang rumah limas khas jawa berdinding warna putih, tempat ia tumbuh menjadi penghuni lelaki satu-satunya. Ibunya menyukain warna putih, dari mulai tembok putih, dan beberapa perabotan rumah."Menurut ibuku, putih adalah kehangatan dan ibu selalu berkata bahwa aku dilahirkan untuk memberikan kehangatan di rumah. Awalnya aku tidak paham, tapi saat aku beranjak dewasa, aku mulai mengartikan kehangatan diciptakan dengan kebersamaan dan saling melindungi. Mungkin ibu berharap dengan memberi nama 'Putih'. Aku bisa menggantikan laki-laki yang menitipkan sperma di rahim ibuku, bukan hanya sekali melainkan sampai tiga kali."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline