Lihat ke Halaman Asli

Trie Yas

TERVERIFIKASI

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Catatan Harian Ahmad Wahib, Diantara Kasus Ahok dan Habib Rizieq

Diperbarui: 9 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Catatn Harian Ahmad Wahib 'Pergolakan pemikiran Islam' (sumber foto: dokpri)

Setiap hari membuka media sosial atau membaca berita entah online atau cetak pasti selalu ada cerita tentang Ahok dan Habib Rizieq, Ketua FPI. Televisi pun selalu membahas tentang mereka. Sidang Ahok disiarkan secara langsung. Hingga membuat  musibah di Aceh dan NTB kurang mendapat ruang. Pusat perhatian masyarakat ditarik ke pusaran tentang toleransi beragama. Memunculkan beberapa opini, kegelisahan, saling gontok, saling membenarkan dan menyalahkan.

Melihat fenomena tersebut, mendorong  saya untuk membuka dan membaca kembali buku Catatan Harian Ahmad Wahib ‘Pergolakan pemikiran Islam’ buku bersampul warna hijau dengan illustrasi tangan menggegam dan menunjuk ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1981 oleh penerbit LP3ES, Jakarta, anggota IKAPI. Penyunting Djohan Efefendi dan Ismed Natsir dengan kata pengantar oleh H.A. Mukti Ali.

Dibagi menjadi empat bagian, 1. Iktiar Menjawab Masalah Keagamaan, 2. Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air, 3. Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan, 4. Pribadi yang Selalu Gelisah. 

Saya mengenal sosok/pemikiran Ahmad Wahib lewat ketekunan dan kesetiaannya menulis catatan harian dengan menuangkan dan memberi komentar hampir tentang semua jenis peristiwa dari filsafat, agama sampai politik.

Teman saya, penyair Heru Joni Putra, yang pada saat itu masih duduk di bangku kuliah di kotanya, Padang, nitip dicarikan buku ‘Pergolakan Pemikiran Islam’. Memang  tak mudah, tapi akhirnya setelah berkeliling di bebarapa toko buku bekas, akhirnya menemukan meski cetakan ketiga pada tahun 1982.

Ahmad Wahib lahir pada tanggal tanggal 9 November 1942, Wahib kecil tumbuh dalam lingkungan santri di Sampang, Madura yang saat itu menjadi lambang kekuarangan, kemiskinan dan kelaparan. Suatu prototip lain dari kehidupan pedesaan yang kering, tempat pulang pergi ke kota besar yang dianggap indikator modernitas.

Namun, yang membedakan Wahib dari anak-anak lainnya adalah lingkungan keluarga yang sangat kental dimensi keagamaannya. Ayahnya sangat dikenal luas di kampung, seorang pemimpin pesantren. Meski begitu seorang yang terbuka dan bebas. Jadi dia tak memaksa Wahib masuk sekolah agama, Madrasah. Wahib memilih menempuh pendidikan umum.

Bahkan pada tahun-tahun permulaan di Jogja, setamat belajar di SMA Pamekasan , Wahib tinggal di asrama Katolik. Wahib diangkat anak asuh Romo Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ, seperti tertulis dalam catatan hariannya.

Dalam kegiatan kemahasiswaan Wahib bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Terkenal sebagai seorang aktivis, pemikir dengan didomininir oleh keraguan, kecemasan,ketakutan. Seperti yang dia tulis tentang menghadapi masa depan.

…..Gairah, senang, tapi di lain pihak putus asa, takut, cemas dan lain-lain…. 

Tetapi kecemasan dan kekelaman itulah yang memacu untuk terus mencari, bersikap dinamis, membongkar yang meragukan dan kemudian menyusunnya kembali. Berkata ‘Tidak’ kepada semua yang mapan bahkan pada dirinya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline