Lihat ke Halaman Asli

Trie Yas

TERVERIFIKASI

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sunya, Film Absrak Bernuansa Tradisi Jawa

Diperbarui: 8 November 2016   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sunya, Film yang menggambarkan tradisi Jawa dan dialognya menggunakan bahasa Jawa. (Foto poster Film Sunya di Kineforum).

Kineforum adalah bioskop pertama di Jakarta yang menawarkan ragam program film sekaligus diskusi tentang film. Sabtu (5/11) kemarin memutar kembali film Sunya karya sutradara Harry Dagoe. Banyak penonton yang antusias karena film yang rilis 6 oktober 2006 ini  tidak bertahan lama di layar bioskop besar di Indonesia.

Wajar, film yang bernuansa tradisi Jawa kental sepanjang film berdurasi 80 menit dengan dialog berbahasa Jawa.  Hanya bertahan seminggu atau dua minggu di layar bioskop. Mengingat bukan satu karya yang popular dan menarik minat penonton Indonesia.

Antusias penonton di Kineforum, TIM. (Foto : Trie yas/aka.lanang)

Hari Dagoe membuat film Sunya terinspirasi dari cerira pendek “Jimat Sero” karya Eka Kurniawan yang kemudian diminta untuk menulis skenario berdampingan bersama Hari Suhariyadi.

Film yang dibintangi Erlandho Saputra ( Bejo dewasa) Eko Supriyanto (Rohman),  Satria Qolbun Salim (bejo kecil) dan Astri Kusumawardhani (Raisa) ini berpusat pada satu tokoh bernama Bejo yang dari kecil sampai dewasa mengalami kejadian-kejadian aneh dan gaib.

Dari mulai melihat gadis kecil yang muncul dan menghilang di pinggir hutan. Munculnya peri-peri menari. Hubunganya dengan Rohman yang ditugaskan untuk selalu menemani dan menjaganya. Hingga kisah wayang Gatot kaca dan raksasa Buto.

Bejo tumbuh dewasa bersama keanehannya dan anggapan orang-orang sekitar bahwa dia memiliki jimat yang membuat karirnya berjalan mulus dan akhirnya bisa menikahi perempuan pujaan hatinya, Raisa yang pada awalnya memandangnya jijik dan hina.

Keanehan hidup Bejo tidak sampai disitu, dia harus bisa memecahkan misteri kenapa Mbah Ibu. Nenek yang membesarkannya dari kecil sekarat dan dokter yang merawat tidak mendiagnosa satu penyakit pun.

Sutradara film Sunya, Harry Dagoe (tengah) dan Erlandho Saputra, pemeran Bejo dewasa (kiri) dalam diskusi seusai penayangan. (Sumber foto: Instagram Kineforum/ @kineforum)

Ketika menonton film Sunya pada menit pertama hingga pertengahan mengingatkan saya dengan karya-karya Garin Nugroho yang sebagian besar juga mengangkat kebudayaan Jawa. Misalnya film Bulan Tertusuk Ilalang yang bercerita mengenai perbenturan budaya Jawa dengan budaya barat modern.

Namun beranjak ke menit akhir, kepala saya dibuat pening berpikir sebenarnya film ini mau dibawa kemana. Sampai akhir film sang sutradara seolah sengaja membuat cerita film ini tanpa ending. Akhir yang berputar kembali ke awal.

Saran saya ketika menonton film seperti ini, jangan mencoba menerka dan mencari cari dimana logikanya. Nikmati saja dari satu fragmen ke bagian berikutnya.

Film ini terbilang berhasil memikat saya dari segi sinematografi. Penggambaran alur kilas balik yang dimunculan secara tiba-tiba. Dari kehidupan Bejo kecil. Kembali ke Bejo yang dewasa dengan Mbah Ibu yang sekarat. Lalu berlanjut pada pencarian Bejo untuk menyembuhkan Mbah Ibu. Ditutup dengan kembali ke gambar Bejo kecil masuk ke hutan yang dikramatkan penduduk setempat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline