Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah, dan terlalu pendek bagi yang bahagia. Tapi bagi yang mengasihi waktu adalah keabadian.
_
HENRY VAN DYKE
Membuka kembali luka lama, guratan traumatis yang ingin dilupakan dari ingatan sejatinya tidaklah mudah. Saya sangat mengerti bagaimana kepedihan mereka dan rasa kehilangan ketika harus menceritakan kembali sejarah gelap yang menimpa kehidupan mereka 14 tahun lalu.
Mereka adalah 14 janda korban Bom Bali yang bercerita menjadi orang tua tunggal dan bagaimana bertahan menjalani hidup dengan kuat hingga mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Kisah mereka terangkum lewat buku Janda-Janda Korban Terorisme di Bali setebal 82 halaman. Keempat belas janda itu adalah Ni Wayan Sudeni, Wayan Leniasih, Endang Isnanik, Ni Luh Erniati, Ni Wayan Rastini, Nyoman Rencini, Made Kitik, Ni Luh Mendri, Ni Ketut Jontri, Ni Made Ritiasih, Zuniar Nuraini, Ni Wayan Rasni Susanti, Nurlaila, dan Warti.
Buku Janda-Janda Korban Terorisme diluncurkan bersama dengan peringatan 14 tahun Bom Bali 12 Oktober kemarin.. Anak-anak korban ketika peristiwa yang memporak-porandakan kehidupan mereka belum mengerti dan paham sekarang sudah beranjak remaja dan mengerti ayah, keluarga menjadi korban. Namun ibu-ibu janda yang ada di buku ini, mereka semua berjuang belajar dalam hidup dan saling menolong, maafkan dan menyayangi. Mereka mengajarkan anak-anaknya untuk bisa menerima dan memaaf pelaku, meski masih ada yang masih dendam trauma karena untuk melupakan tentu tidak mudah, terlanjur membekas abadi.
Peristiwa Bom Bali baik tahun 2002 maupun 2005 merenggut banyak sekali korban baik dari warga negara asing maupun warga negara Indonesia, kebanyakan WNI yang menjadi korban tulang punggung keluarga yang sedang menjalankan tugas mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Bisa dibayangkan dampak yang dirasakan keluarga korban akhibat tragedi tersebut.
Kisah mereka ini sangat beragam, menyisakan luka dan trauma berkepanjangan akibat Bom Bali tersebut. Saya sangat mengapresiasi dan merekomedasikan buku ini untuk dibaca, tidak hanya kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki agar mereka bisa lebih menghargai dan mengangkat derajat perempuan.
Butuh waktu seminggu saya merampungkannya, bukan karena tebalnya tetapi muatan isi kisah mereka. Setiap selesai satu bab paru-paru saya terasa terhimpit seolah ikut merasakan beban mereka.
Buku ini menceritakan bagaimana tergunjangnya jiwa mereka, risiko traumatik yang mereka rasakan hingga kini. Ada trauma dengan asap, trauma bakaran, takut kompor, takut melihat perempuan membonceng anak, dan lainnya.
Beban psikologis yang mereka rasakan juga berat. Mereka mencari dan menemukan jasad suami mereka hingga berbulan-bulan sampai ketemu dengan beragam cara.